Utang Kawasan Asia Bikin Shock, Tapi Bank Dunia Puji RI
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Dunia atau World Bank menyoroti tingginya pertumbuhan utang negara-negara di kawasan Asia dan Pasifik, hingga berpotensi menekan laju pertumbuhan ekonomi kawasan pada 2024. Namun, Indonesia malah mendapat pujian dari Bank Dunia.
Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Kawasan Asia Timur dan Pasifik, Aaditya Mattoo mengatakan bengkaknya utang negara-negara kawasan ini terjadi terutama setelah masa Pandemi Covid-19, membuat terbatasnya ruang fiskal, terhambatnya investasi publik, dan terbebaninya investasi swasta karena tingginya suku bunganya.
Utang korporasi yang tinggi juga merugikan investasi swasta karena menyebabkan perusahaan mempunyai sumber daya yang lebih sedikit untuk proyek-proyek baru. Biaya pembayaran utang rumah tangga yang tinggi turut mengikis pendapatan yang dapat dibelanjakan dan merugikan konsumsi.
"Jadi kawasan yang dikenal sebagai kawasan yang hemat, kini mereka mengalami tingkat utang sangat tinggi. Utang yang tinggi ini bukan hanya ditunjukkan oleh satu negara atau pemerintah tapi juga di sektor korporasi atau rumah tangga," kata Mattoo saat konferensi pers secara daring, Senin (2/10/2023).
Mattoo mencatat, tingginya kenaikan tingkat utang ini terjadi di kawasan dalam satu dekade terakhir. Misalnya, tingkat utang pemerintah Indonesia dari 2010 hanya sebesar 25% dari PDB menjadi kini tembus 39% dari PDB. China dari 25% menjadi 51%, Thailand dari 28% menjadi 54%, dan Malaysia dari 48% menjadi 60% terhadap PDB nya.
Lalu, utang rumah tangga untuk Indonesia naik dari 14% menjadi 16% terhadap PDB, dan China dari 27% menjadi 62%, hingga Thailand dari 59% menjadi 86%. Sedangkan utang korporasi non finansial juga naik, seperti Indonesia dari 15% menjadi 25%, China dari 115% menjadi 172%, dan Vietnam dari 74% menjadi 112%.
Meski demikian, Mattoo menekankan bagi Indonesia, tingkat utang tersebut terbilang masih pada level amannya dan tak memberikan risiko buruk di kemudian hari. Tingkat rasio utang terhadap PDB nya pun masih jauh di bawah ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang membatasi maksimal 60% dari PDB.
"Pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan fiskal yang sangat hati-hati dan hemat, Indonesia merupakan salah satu negara pertama yang melakukan konsolidasi dan menarik kembali dukungan (bayar utang) yang telah diberikan selama masa pandemi Covid-19," ucap Mattoo.
Dalam Macro Poverty Outlook for East Asia and the Pacific, Bank Dunia pun memperkirakan, tingkat utang Indonesia terhadap PDB pada 2023 hanya akan sebesar 39,1%, lalu menjadi 39% pada 2024, dan 38,4% pada 2025. Terus menyusut dari level 2021 yang mencapai 40,7%, dan masih di bawah level 2020 yang 39,3% maupun realisasi 2022 sebesar 39,5%.
Dari sisi defisit APBN, Bank Dunia juga memperkirakan, besarannya akan terus terjaga di kisaran 2%, dari level 2020 defisit 6,1% terhadap PDB, menjadi defisit 4,6% dari PDB pada 2021, lalu 2,4% pada 2022, 2,2% pada 2023, 2,3% pada 2024, dan defisit 2,3% pada 2025.
"Indonesia juga merupakan negara yang telah menggunakan subsidi bahan bakar namun menghapusnya secara bertahap dalam waktu yang relatif cepat. Jadi menurut saya, saya tidak melihat tingkat utang ini sebagai sumber risiko yang besar," tuturnya.
(haa/haa)