Dagang di Medsos 'Haram', Pengusaha-Buruh Respons Begini

Damiana, CNBC Indonesia
29 September 2023 12:15
Karyawan mempromosikan pakaian wanita di platfom siaran langsung (live) media sosial di kawasan Pertokoan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis (13/10/2022). Di era digital saat ini berbagai cara pedagang mempromosikan barang jualanannya salah satunya dengan platform media sosial. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Karyawan mempromosikan pakaian wanita di platfom siaran langsung (live) media sosial di kawasan Pertokoan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis (13/10/2022). Di era digital saat ini berbagai cara pedagang mempromosikan barang jualanannya salah satunya dengan platform media sosial. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah resmi melarang praktik social-commerce, artinya tak mengizinkan transaksi jual-beli di platform media sosial (medsos). Hal itu ditetapkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 31/2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang diundangkan dan berlaku mulai 26 September 2023.

Selain itu, Permendag ini menetapkan harga paling murah barang impor yang boleh dijual di platform ecommerce US$100, harga Freight on Board (FOB). Yang diatur dalam pasal 19 Permendag No 31/2023.

Tak hanya itu, barang impor itu juga harus memenuhi ketentuan di dalam negeri, seperti SNI dan standar lain yang dipersyaratkan di dalam negeri.

Dan, Pasal 21 Permendag No 31/2023 juga melarang elaku perdagangan e-commerce sekaligus bertindak sebagai produsen. "PPMSE dengan model bisnis Lokapasar (Marketplace) dan/atau Social-Commerce dilarang bertindak sebagai produsen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang distribusi barang".

Ketentuan ini ditujukan agar rantai usaha terkait ecommerce tak dikuasai seluruhnya oleh sepihak tertentu.

Menanggapi terbitnya Permendag No 31/2023 itu, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengaku mengapresiasi langkah pemerintah yang cepat mengatur social-commerce.

"Mudah-mudahan bisa terimplementasi dlm arti aturannya bisa ditegakkan," katanya kepada CNBC Indonesia, dikutip Jumat (29/9/2023).

"Namun hal lain yang tidak pernah tersentuh adalah penegakan aturan terkait importasi yang menyebabkan impor ilegal marak dan membanjiri pasar," ujar Redma.

Dia menuturkan, barang-barang impor bebas beredar dengan harga murah. Hingga memicu dugaan barang tersebut masuk secara ilegal ke Indonesia.

"Karena kita tahu di platform market place online pun bertebaran barang-barang impor murah dengan harga di luar nalar. Dan itu pasti masuk dengan cara ilegal," tukasnya.

"Jadi baiknya pembenahan bukan hanya di tingkat retail, tapi juga di pihak supplier barang impornya," tambah Redma.

Secara terpisah, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi mengungkapkan hal senada.

"Basis anggota terbesar kami di sektor tekstil dan produks tekstil (TPT) dan kami menilai kebijakan itu tidak tepat," ujarnya.

Pasalnya, jelas Ristadi, pabrik-pabrik TPT di dalam negeri banyak yang tutup karena order yang turun atau tak ada sama sekali. Akibatnya, barang yang sempat diproduksi tak terjual.

"Pabrik berorientasi ekspor menghadapi efek kontraksi ekonomi global. Sementara, pabrik orientasi pasar lokal tergerus oleh produk impor yang harganya lebih murah. Baik yang impor legal yang ugal-ugalan masuk ke sini, maupun yang impor ilegal," kata Ristadi.

"Artinya, masalah hulunya adalah barang-barang TPT luar negeri yang harganya lebih murah terutama dari jalur impor ilegal," tambahnya.

Menurut Ristadi, melarang social-commerce hanya akan menumbuhkan kembali perdagangan atau transaksi konvensional.

"Pasar-pasar seperti Pasar Tanah Abang, pasar tumpah, dan pasar lainnya akan menggeliat lagi. Tapi, barang yang laku dijual tetap saja barang-barang yang sangat murah dan dari itu terutama berasal dari impor, impor yang ilegal," bebernya.

"Artinya, barang TPT produksi dalam negeri tetap saja nggak akan laku. Industri tekstil nasional tetap saja nggak bisa bangkit lagi. Pabrik tutup hingga PHK akan terus terjadi," kata Ristadi.

Dia pun berharap pemerintah serius menutup masuknya barang-barang impor ilegal yang harganya lebih murah dibandingkan produk dalam negeri.

"Social-commerce cukup dibatasi hanya untuk transaksi barang produk dalam negeri. Dengan demikian pasar domestik yang ceruknya sampai 280 juta orang ini diisi produk dalam negeri," kata Ristadi.

"Dengan begitu, pabrik akan tetap eksis (ada) dan tumbuh. Sehingga tak terjadi lagi gelombang PHK, dan daya beli masyarakat terjaga. Efeknya, pertumbuhan ekonomi stabil," pungkasnya.


(dce/dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Medsos Resmi Tak Boleh Ecommerce, Ini Pesan Mendag ke UMKM

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular