
Tetangga RI dalam Bahaya, Dihantam Malapetaka Besar!

Jakarta, CNBC Indonesia - Australia baru saja memasuki masa peralihan dari musim dingin menuju musim semi. Namun, negara tersebut sudah bergulat dengan panas dan kebakaran hutan, sehingga memicu kekhawatiran akan terjadinya musim panas yang berpotensi menimbulkan bencana.
Akhir pekan lalu, lebih dari 20 pelari Sydney Marathon dirawat di rumah sakit akibat gelombang panas. Resor ski, termasuk Perisher, yang terbesar di Australia, telah tutup lebih awal di tengah kurangnya salju setelah musim dingin terhangat di Australia sejak pencatatan dimulai pada tahun 1910.
Pekan lalu, puluhan kebakaran hutan terjadi di negara tersebut, dan lebih dari 60 kebakaran lahan terjadi di negara bagian New South Wales yang berpenduduk padat.
Hal ini merupakan sinyal buruk mengenai apa yang mungkin terjadi di sebagian besar wilayah negara ini ketika musim semi tiba di musim panas. Pertemuan fenomena iklim alami, termasuk El Niño, dan pemanasan global yang disebabkan oleh aktivitas manusia, membuat para ilmuwan membunyikan alarm.
"Kita berada dalam situasi yang serius. Monster perubahan iklim telah bangun dan El Niño artinya sedang marah," kata David Bowman, profesor pirogeografi dan ilmu kebakaran di Universitas Tasmania, Australia, kepada CNN International, Senin (25/9/2023).
Pekan lalu, Biro Meteorologi Australia (BOM) mengumumkan resmi datangnya El Niño, yaitu pola cuaca alami yang berasal dari Samudera Pasifik yang cenderung membawa kondisi panas dan kering ke Australia, khususnya bagian timur.
Selain El Niño, terdapat pula fenomena iklim yang disebut Indian Ocean Dipole (IOD) meningkatkan kemungkinan terjadinya panas dan kekeringan. IOD mirip dengan El Niño, namun berasal dari Samudera Hindia, dan dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap cuaca Australia.
"Kita sudah melihat kondisi cuaca ekstrem di beberapa bagian benua ini, terutama selama musim panas, serta kebakaran yang bencana", kata Karl Braganza, kepala pemantauan iklim di BOM.
Dengan adanya potensi ini, ketakutan pun mulai muncul karena kenangan akan musim kebakaran Black Summer pada tahun 2019 hingga 2020. Tercatat fenomena itu menghanguskan 10 juta hektare, menyebabkan kematian ratusan orang dan membunuh lebih dari satu miliar hewan.
Namun, menurut Bowman dari Universitas Tasmania, kondisinya berbeda pada tahun ini. Ia menuturkan panas yang terjadi mungkin juga akan dilawan oleh mitra El Niño yang lebih dingin, La Niña.
Meski begitu, para ahli mengatakan kepada CNN bahwa tidak ada ruang untuk berpuas diri. Robb Webb, CEO Dewan Nasional untuk layanan kebakaran dan darurat (AFAC) mengatakan kepada CNN, menyebut tidak perlu ada panas seperti Black Summer untuk menciptakan bencana.
"Perkiraan kebakaran AFAC yang dikeluarkan bulan lalu memperingatkan peningkatan risiko kebakaran di sebagian besar wilayah negara tersebut, karena tanaman yang tumbuh pada musim hujan cepat kering."
(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article RI Diserang Cuaca Panas Menyengat, Bikin Gerah & Bahaya Ini
