
Sri Mulyani & Bos BI Warning Guncangan Efek China, RI Gimana?

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Gubernur Bank Indonesia (BI) kompak membeberkan fakta terkait dengan kondisi global. Ketidakpastian pada perekonomian global masih tinggi memasuki kuartal akhir 2023, disebabkan oleh ekonomi China yang tertekan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menuturkan tekanan ekonomi global itu masih akan dipicu ketidakpastian ekonomi dari dua negara dengan kekuatan ekonomi terbesar dunia, yakni Amerika Serikat dan China.
"Kita melihat dua ekonomi terbesar, Amerika dan RRT dua-duanya memiliki karakter ketidakpastian yang harus diwaspadai dan pasti menimbulkan spill over atau rambatan ke seluruh dunia," ujar Sri Mulyani, dikutip Jumat (22/9/2023).
Sementara itu, Sri Mulyani melihat pelemahan ekonomi China akan mempengaruhi prospek ekonomi global yang secara tidak langsung akan berdampak pada perekonomian Indonesia.
"Risiko lain yang harus kita waspadai adalah tren pelemahan perekonomian di RRT yang merupakan mitra dagang terbesar Indonesia," tegasnya dalam pidato di Rapat Paripurna pengesahan RUU APBN 2024.
Perekonomian AS memang masih dihantui dengan tingginya tekanan inflasi. Pada Agustus 2023, AS mengumumkan inflasi secara tahunan masih bertengger di level 3,7% atau naik dari bulan sebelumnya 3,2%. Pertumbuhan ekonominya pun pada kuartal II-2023 hanya sebesar 2,1%, lebih rendah dari estimasi pelaku pasar di level 2,4%.
Adapun China, pertumbuhan ekonominya juga diperkirakan banyak pihak akan terus melambat karena salah satu pilar ekonominya, yakni sektor properti akibat bangkrutnya beberapa perusahaan real estate besarnya seperti Country Garden dan Evergrande.
Di sisi lain, dia melihat inflasi di sejumlah negara masih tinggi. Penurunan harga komoditas sejalan dengan tren inflasi global yang juga menurun, meskipun belum diikuti penurunan suku bunga acuan di berbagai negara.
Menurutnya, Indonesia harus tetap waspada terhadap dinamika global tersebut. Pasalnya, perang Rusia dan Ukraina belum berakhir dan kondisi ini berisiko memicu disrupsi rantai pasok global.
Sementara itu, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menunjukkan kewaspadaan yang sama terkait dengan kondisi China. BI melihat pengaruh perlambatan ekonomi China yang dipicu oleh rontoknya sektor properti besar turut berdampak pada kinerja ekspor Tanah Air.
Menurut Perry, perlambatan ekonomi yang terjadi di China merembet ke negara lain, termasuk Indonesia di sisi ekspor.
"Ekspor kita meningkat tapi tidak sekuat sebelumnya, tidak hanya global tapi juga dampak pelemahan ekonomi Tiongkok," tegasnya, dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI, Kamis (21/9/2023).
BI melihat properti China menjadi isu sentral, terutama perusahaan-perusahaan besar. Sementara itu, properti menegah dan kecil masih berjalan dengan baik. Dengan demikian, Perry menilai isunya adalah bagaimana konsolidasi dan restrukturisasi perusahaan properti besar kelak.
Selain kondisi properti, BI mencatat ekonomi China melambat dipicu oleh ekspor ke AS yang mulai mengalami perlambatan dan pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang tidak sekuat ekspektasi awal. Sementara itu, ekonomi AS mulai menguat.
Kuatnya ekonomi AS didukung oleh konsumsi rumah tangga seiring dengan kenaikan upah dan pemanfaatan ekses tabungan (excess savings).
Namun, inflasi di negara maju, termasuk AS, masih tetap tinggi karena berlanjutnya tekanan inflasi jasa, keketatan pasar tenaga kerja, dan meningkatnya harga minyak.
Perkembangan tersebut mendorong tetap tingginya suku bunga kebijakan moneter di negara maju, terutama Federal Funds Rate (FFR) AS, yang mengakibatkan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global. Perry yakin kenaikan FFR akan dilakukan The Fed pada November mendatang.
Terkait dengan domestik, Perry melihat pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap baik ditopang oleh permintaan domestik. Konsumsi rumah tangga diprakirakan tumbuh kuat sejalan dengan keyakinan masyarakat yang masih tinggi, termasuk generasi muda yang meningkatkan konsumsi jasa.
Namun, dia melihat ekspor akan melambat seiring pelemahan permintaan global dan turunnya harga komoditas, di tengah ekspor jasa yang cukup kuat.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article BI Akui Rupiah Lesu Gara-gara Sentimen China
