
Ekonom Ini Ingatkan Ancaman Ngeri di 2030, Ini Biang Keroknya

Jakarta, CNBC Indonesia - Dalam setahun terakhir, harga beras terpantau terus bergerak naik dan cetak rekor harga tertinggi. Hari ini, Kamis (31/8/2023), harga beras terpantau cetak rekor ke Rp12.340 per kg untuk medium dan Rp14.000 per kg untuk jenis premium.
Terjadi kenaikan masing-masing Rp40 dan Rp60 per kg. Harga tersebut adalah rata-rata harian nasional di tingkat pedagang eceran, mengutip Panel Harga Badan Pangan, diakses pukul 14.15 WIB.
"Penyebabnya banyak. Paling signifikan adalah suplai berkurang, sehingga harga naik," kata Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI) dan Ekonom Senior INDEF Bustanul Arifin kepada CNBC Indonesia, dikutip Kamis (31/8/2023).
Fenomena El Nino yang memicu kekeringan ekstrem, ujarnya, turut berdampak pada neraca tahun 2023 untuk beras dan pangan lain di Indonesia.
Di sisi lain, kata Bustanul, upaya memacu produktivitas gabah di tengah tekanan perubahan iklim global mejadi lebih rumit dan penuh tantangan.
"Studi akademik dan model keseimbangan umum telah meramalkan bahwa perubahan iklim akan menurunkan produksi pangan 8-10% pada tahun 2030, jika tidak ada respons kebijakan atau strategi adaptasi," katanya.
"Pemerintah wajib berada di garda terdepan untuk membimbing petani dalam mengembangkan benih padi dan pangan lain yang tahan lebih adaptif terhadap perubahan iklim ekstrem El-Nino dan musim basah La-Nina berlebihan," tambah Bustanul.
Mengacu data BPS (1 Maret 2023), Bustanul menjabarkan kinerja produktivitas padi di Indonesia sejak tahu 2018 sampai 2022.
Di mana, pada tahun 2018, produktivitas tercatat di 5,20 ton per hektare (ha), lalu turun ke 5,11 ton per ha di tahun 2019, dan tahun 2020 jadi 5,13 ton per ha.
Pada tahun 2021, produktivitas naik lagi jadi 5,23 ton per ha dan tahun 2022 jadi 5,24 ton per ha.
Di saat bersamaan, konsumsi beras di dalam negeri juga terus meningkat.
Secara berturut, konsumsi beras di dalam negeri sejak tahun 2018 sampai tahun 2022 tercatat sebesar 29,57 juta ton, 28,93 juta ton, 29,40 juta ton, 30,04 juta ton, dan 30,20 juta ton.
![]() Produktivitas padi ASEAN melandai. (Tangkapan Layar Dokumen Presentasi Bustanul Arifin) |
Bustanul mengatakan, ada sejumlah isu yang harus ditangani untuk memacu peningkatan produktivitas di tengah tekanan perubahan iklim.
"Isu besarnya, petani padi memerlukan insentif untuk melakukan perubahan teknologi, penggunaan input pertanian seperti pupuk, benih, smart farming, pertanian presisi, hingga digitalisasi rantai nilai," jelasnya.
Untuk itu, katanya, perlu ada perubahan kebijakan di masa depan.
"Perubahan teknologi pertanian yang mampu memitigasi dan mengadaptasi perubahan iklim, pengembangan varietas tahan kering dan tahan genangan. Juga, peningkatan keterhubungan produk dengan pasar, closed-loop system, peran off taker, industri pengolahan, rantai nilai dan jaringan pemasaran," kata Bustanul.
Sebelumnya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) juga sudah memperingatkan ancaman yang tengah mengintai bumi. Akibat perubahan iklim yang telah memicu dampak lebih luas dan skala global.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, ancaman krisis pangan akibat perubahan iklim bukan sekadar isapan jempol.
"Kencangnya laju perubahan iklim berdampak pada ketahanan pangan nasional akibat hasil panen menurun hingga gagal tanam," kata Dwikorita dalam keterangan di situs resmi BMKG, dikutip Sabtu (15/7/2023).
Dwikorita mengacu pada organisasi pangan dunia, Food and Agricultural Organization of the United Nations (FAO) yang memprediksi dunia akan menghadapi potensi bencana kelaparan akibat perubahan iklim di tahun 2050 nanti. Akibat penurunan hasil panen dan gagal panen.
"Ancaman paling menakutkan bagi seluruh umat manusia bukanlah pandemi ataupun perang, melainkan perubahan iklim yang dipicu pemanasan global. Ini adalah biang keladi berbagai bencana hidrometerologi, cuaca ekstrem, kebakaran hutan dan lahan, dan juga krisis pangan," kata Dwikorita.
Karena itu, tegasnya, jangan sampai perubahan iklim dianggap remeh.
"Perubahan iklim yang terjadi secara global tidak bisa dianggap remeh karena dampaknya bagi kehidupan sangat signifikan dan membahayakan. Kondisi ini mengancam seluruh negara di seluruh belahan dunia tanpa terkecuali,"Â pungkasnya.
(dce/dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Video: Perdana! COP28 Sepakat Beralih Dari Bahan Bakar Fosil
