Terungkap, Ini 'Udang di Balik Batu' Uni Eropa Jegal Sawit RI

Martyasari Rizky, CNBC Indonesia
24 August 2023 19:40
Panen tandan buah segar kelapa sawit di kebun Cimulang, Candali, Bogor, Jawa Barat. Kamis (13/9). Kebun Kelapa Sawit di Kawasan ini memiliki luas 1013 hektare dari Puluhan Blok perkebunan. Setiap harinya dari pagi hingga siang para pekerja panen tandan dari satu blok perkebunan. Siang hari Puluhan ton kelapa sawit ini diangkut dipabrik dikawasan Cimulang. Menurut data Kementeria Pertanian, secara nasional terdapat 14,03 juta hektare lahan sawit di Indonesia, dengan luasan sawit rakyat 5,61 juta hektare. Minyak kelapa sawit (CPO) masih menjadi komoditas ekspor terbesar Indonesia dengan volume ekspor 2017 sebesar 33,52 juta ton. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Panen tandan buah segar kelapa sawit di kebun Cimulang, Candali, Bogor, Jawa Barat (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Eugenia Mardanugraha menyebut Undang-undang (UU) Antideforestasi Uni Eropa (UE) atau European Union Deforestation Regulation (EUDR) merupakan regulasi yang sengaja ditetapkan blok tersebut untuk menghambat kemajuan industri Indonesia, termasuk industri kelapa sawit.

"Dengan regulasi itu mereka berupaya mengendalikan harga sawit internasional," kata Eugenia, seperti dikutip Kamis (24/8/2023).

Eugenia menuturkan, semakin maju pasar keuangan atau bursa sawit Indonesia, Eropa semakin kehilangan kekuatan untuk mengendalikan harga.

Oleh karena itu, menurutnya, Indonesia harus membangun pasar keuangan sawit yang mapan dan mendukung iklim usaha industri sehingga dapat mengalahkan Belanda dan Malaysia.

Yang jelas, lanjutnya, beberapa dampak yang akan terjadi sebagai buntut dari penerapan regulasi tersebut, diantaranya adalah penurunan permintaan minyak sawit.

Penurunan permintaan dapat mengakibatkan penurunan harga sawit dan meningkatkan harga minyak nabati lainnya. Ekspor Indonesia dan potensi pendapatan dari pasar minyak sawit pun terpengaruh.

Dampak berikutnya adalah penyesuaian pasokan. Jika permintaan dari Uni Eropa menurun, menurutnya, produsen dan eksportir sawit Indonesia harus menyesuaikan produksi dan pasokan.

Tekanan Eropa terhadap sawit Indonesia juga diakui Mukhamad Faisol Amir dari Centre for Indonesian Policy Studies (CIPS). Minyak sawit menjadi satu-satunya minyak nabati yang di take-out dari renewable energy oleh Uni Eropa.

"Mereka tidak memasukkan sawit sebagai minyak nabati yang direkomendasikan untuk digunakan dalam memproduksi biofuel," katanya.

Hal itu, imbuh dia, menguatkan alasan Indonesia untuk terus memperkuat posisi di pasar internasional dan memperbaiki tata kelola industri kelapa sawit yang berkelanjutan.

"Indonesia harus segera keluar dari ketergantungan pasar dari negara-negara yang menerapkan hambatan dagang seperti Uni Eropa," lanjut Faisol.

Sebelumnya, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menyebut bursa sawit atau crude palm oil (CPO) akan segera diselesaikan, agar Indonesia tidak perlu berpatokan kepada Malaysia dan Belanda lagi.

"Jadi ada dua yang kita harus selesaikan bursa kripto, dan bursa CPO. Bursa CPO itu kita patokan Belanda sama Malaysia," kata Zulhas saat membuka acara Peluncuran Pembentukan Bursa berjangka Aset Kripto di Jakarta, Jumat (28/7/2023).


(dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pembabatan Hutan Turun, Jokowi Ada Senjata Sakti Lawan Eropa

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular