Sebelum Setop Ekspor Pasir Kuarsa, RI Kudu Perhatikan Hal Ini

Verda Nano Setiawan, CNBC Indonesia
Rabu, 09/08/2023 17:30 WIB
Foto: Pasir Kuarsa (addesia from Pixabay)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah dinilai perlu mempertimbangkan secara matang sebelum benar-benar menghentikan ekspor pasir kuarsa/silika.

Ketua Indonesian Mining & Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo mengatakan, untuk menyetop ekspor pasir kuarsa, pemerintah seharusnya mempertimbangkan berbagai faktor. Misalnya, mulai dari kondisi cadangan pasir kuarsa, serapan di dalam negeri, hingga penggunaan teknologi.

"Harus diakui pasir kuarsa atau pasir silika salah satu material alam yang melimpah di Indonesia," ujar Singgih kepada CNBC Indonesia, Rabu (9/8/2023).


Berdasarkan data Neraca Sumber Daya dan Cadangan Mineral, Batu Bara, dan Panas Bumi Indonesia tahun 2020, Indonesia menyimpan sumber daya pasir kuarsa hingga 2,1 miliar ton dan cadangan sebesar 330 juta ton.

Dia menjelaskan, dengan alasan meningkatkan nilai tambah, serapan tenaga kerja, target investasi agar industri terkait dengan pasir silika, tentu tepat pemerintah merencanakan untuk menyetop ekspor pasir silika.

"Namun kembali lagi kebijakan tersebut harus mempertimbangkan serapan di dalam negeri, teknologi pasir silika/kuarsa yang impuritas masih cukup besar dan produksi pasir silika sendiri," tuturnya.

Menurut dia, di dunia perindustrian penggunaan pasir silika saat ini cukup besar. Contohnya untuk industri gelas, semen, beton, keramik, tekstil, kertas, kosmetik, elektronik, cat, film, pasta gigi, dan lain-lain.

"Sebagian besar masih dapat memakai pasir silika dengan kandungan Si02 99.5 %, namun impuritas bisa jadi masih 200 ppm (fe/besi dan lain-lain)," kata dia.

Sebelumnya, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan pemerintah berencana untuk segera melarang ekspor pasir kuarsa. Bukan tanpa alasan, rencana penghentian ekspor pasir kuarsa ini guna mendorong hilirisasi di Tanah Air.

Presiden Jokowi menyebut, turunan produk pasir kuarsa/silika bisa mencapai 60 ribu. Oleh karena itu, bila diolah di dalam negeri, bisa bernilai tambah besar bagi negara ini.

"2027 ekosistem EV harus tuntas. Semua hilirisasi, termasuk pasir silika, juga akan kita larang ekspor. Kalau pasir silika ini saya sudah hitung turunannya ada 60 ribu, ada nilai tambah yang besar," ungkap Jokowi di Istana Negara beberapa waktu lalu.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif juga buka suara perihal wacana RI yang bakal melarang kegiatan ekspor pasir kuarsa/silika. Hal tersebut menyusul kebutuhan pasir kuarsa untuk komponen bahan baku pembuatan panel surya.

Menurut Arifin, larangan ekspor pasir kuarsa saat ini masih sebatas wacana. Namun, pemerintah tengah mengkaji kebutuhan pasir kuarsa untuk bahan baku komponen panel surya itu.

"Itu masih wacana, tapi kita melihat ketersediaan sumber potensi kita hitung misalnya 1 meter persegi Solar PV memakai berapa kilo sebagai silika sampai kemudian di-convert," kata Arifin di Gedung Kementerian ESDM, Jumat (4/8/2023).

Pemerintah sendiri menargetkan kapasitas terpasang pembangkit listrik energi baru dan terbarukan (EBT) pada 2060 mencapai 700 Giga Watt (GW). Adapun dari kapasitas tersebut, mayoritas Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) akan mendominasi dengan target sebesar 400 GW.

"Indonesia kan tadi dibilang punya rencana sampai 2060 300-400 GW, nah cukup apa enggak. Tapi yang pertama kita harus upayakan bangun dulu manufacturing facilities-nya, tapi kan sekarang ini kita juga pasir sekilo berapa? murah kan? kalau bikin Solar PV itu berapa, mahal kan, nah itu yang harus kita pertimbangkan ke depan," ujar Arifin.


(wia)
Saksikan video di bawah ini:

Video: RI Resmikan Pabrik Panel Surya Terbesar, Investasi Rp 1,5 T