Seram, BMKG Ungkap Petaka El Nino Semakin Sering Terjadi

Arrijal Rachman, CNBC Indonesia
Senin, 31/07/2023 17:15 WIB
Foto: Kepala BMKG Prof Dwikorita Karnawati (Rengga Sancaya/detikcom)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan, saat ini negara-negara di dunia lebih mengkhawatirkan perubahan iklim daripada efek peperangan dan pandemi. Sebab, ujarnya, perubahan iklim menyebabkan efek domino secara global dan yang berkepanjangan.

Salah satu efek perubahan iklim, kata dia, fenomena iklim yang memicu anomali kenaikan suhu muka laut di Samudera Pasifik bagian tengah dan timur. Yang mengakibatkan bergesernya potensi pertumbuhan awan dari wilayah Indonesia ke wilayah Samudra Pasifik Tengah dan Timur.

Efek lainnya, fenomena penyimpangan suhu muka laut di Samudra Hindia yang menyebabkan berubahnya pergerakan atmosfer atau pergerakan masa udara. Fenomena ini disebut indian Ocean Dipole (IOD). Saat IOD positif, suhu muka laut di Samudra Hindia bagian barat menghangat, sedangkan di bagian timur mendingin. Kondisi IOD positif akan menyebabkan berkurangnya curah hujan di Indonesia.


"Salah satu dampak perubahan iklim adalah kejadian El Nino dan IOD positif yang semakin sering terjadi," kata Dwikorita saat pemaparan dalam acara Penyerahan Insnentfi Fiskal Kinerja Pengendalian Inflasi Daerah dan Rakor Pengendalian Inflasi 2023, Senin (31/7/2023).

Dia menjelaskan, pada periode tahun 1950-1970, kejadian pengulangan El Nino terjadi antara setiap 5 sampai 7 tahun.

"Namun, setelah masuk tahun 80, kejadian El Nino kini terjadi bisa berulang setiap 2-3 tahun sekali," katanya.

"Dampaknya, yang pasti adalah kekeringan dan berdampak pada ketersediaan sumber daya air dan pangan. Juga memiliki dampak sosial ekonomi lainnya," ujar Dwikorita.

Foto: enyerahan Insentif Fiskal Kinerja Pengendalian Inflasi Daerah di Jakarta, Senin (31/7/2023). (YouTube/Kemendagri)
enyerahan Insentif Fiskal Kinerja Pengendalian Inflasi Daerah di Jakarta, Senin (31/7/2023). (YouTube/Kemendagri)



Di sisi lain, dia mengatakan, posisi Indonesia yang berada di antara Samudra Pasifik dan Samudara Hindai menjadi faktor penolong. Di mana, meski ada fenomena IOD positif dan El Nino di tengah musim kemarau, dalam siklus setiap 40-60 hari, Indonesia masih akan bisa mendapat curah hujan.

Fenomena sesaat itu, kata dia, merupakan dampak dari awan berarak dari Samudra Hindia di Khatulistiwa bergerak melintasi Indonesia menuju Samudra Pasifik. Hasilnya, meski ada El Nino, pada bulan Juli 2023, Indonesia masih mengalami 'musim' hujan.

Selain itu, lanjutnya, sejumlah prediksi menyebutkan puncak El Nino di Indonesia akan berkembang dari lemah ke moderat hingga kuat. Dan, diprediksi puncaknya di Indonesia pada bulan Agustus dan September.

"Dengan pengaruh kedua samudra tadi, lautan yang luas ini berpengaruh sehingga pengaruh El Nino dan IOD positif di Indonesia relatif lebih lemah dibandingkan negara-negara lain," katanya.

Hanya saja, lanjut Dwikorita, IOD positif diprediksi akan bertahan sampai Oktober 2023.

"Karena keduanya (El Nino dan IOD positif) berlangsung bersamaan, musim kemarau di Indonesia akan lebih kering dibandingkan kemarau tahun 2022, 2021, dan 2020. Yang terbantu fenomena La Nina sehingga yang terjadi kala itu kemarau basah," katanya.

"Jadi 3 kali kemarau lalu basah. Karena itu lah perlu diwaspadai (kemarau tahun 2023)," pungkasnya.


(dce/dce)
Saksikan video di bawah ini:

Trump: Israel Sepakat Gencatan Senjata-Langit RI Bakal Tertutup Awan