
RI Sudah Setengah Jalan Menuju 'Raja' Baterai, Ini Faktanya

Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) membeberkan bahwa Indonesia sudah setengah jalan menuju cita-cita menjadi 'raja' baterai kendaraan listrik (electric vehicle/ EV).
Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Mares, Septian Hario Seto mengatakan bahwa Indonesia bahkan telah mempersiapkan perjalanan menjadi 'raja' baterai EV mulai dari sektor hulu, pemurnian, hingga hilir sampai bisa memproduksi baterai EV.
Perjalanan Indonesia dalam membuat ekosistem baterai kendaraan listrik dari sisi hulu dimulai dari sektor pertambangan dan metalurgi. Lalu midstream ada pabrik atau fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) nikel. Bagian hilir berteknologi tinggi terdiri dari pabrik precursor, katoda, hingga baterai.
"Dalam pandangan kami, hampir sampai. Saya pikir kita mungkin perlu satu atau dua tahun lagi untuk menyelesaikan semua ekosistem ini," ungkap Seto dalam acara "Nickel Conference 2023" CNBC Indonesia di Jakarta, dikutip Jumat (28/07/2023).
Dari sisi pertambangan, Indonesia sudah memiliki sejumlah komoditas tambang yang merupakan bahan baku baterai EV, antara lain nikel, cobalt, mangan, tembaga, dan aluminium.
Sedangkan pada sisi pembangkitannya, Indonesia sudah memiliki pembangkit listrik berbasis energi bersih, gas alam, dan batu bara termal.
"Memang cadangan lithium saja yang belum kita punya," ucapnya.
Seto menekankan bahwa di sisi hulu, Indonesia hanya kurang dalam hal tambang lithium. Namun demikian, pihaknya tengah mencari pemasok lithium untuk Indonesia, baik dari Australia, Kongo, maupun Zimbabwe.
"Pilihan lain, kita bisa pergi ke Afrika tentu saja, ini sebabnya salah satu alasan perjalanan Pak Luhut baru-baru ini ke Afrika sebenarnya mendapatkan pasokan ini setelah lithium di Kongo, di Zimbabwe," ucap Seto.
Lebih lanjut, Seto mengungkapkan bahwa di sisi pemurnian dan pemrosesan melalui smelter, Indonesia sudah memiliki fasilitas pemrosesan menjadi MHP (Mixed Hydroxide Precipitate), Nickel Pig Iron (NPI), Fero Nickel (FeNi), dan sulfuric acid.
Pada sisi pemurnian dan pemrosesan melalui smelter ini, Seto mengungkapkan bahwa Indonesia hanya tinggal membangun fasilitas yang bisa menghasilkan sodium carbonate, hydrochloric acid, dan extraction agent.
Adapun di sisi hilir, untuk pembuatan prekursor baterai EV, Indonesia sudah memiliki pabrik amonia dan masih harus mencari bahan untuk sodium hidroksida. Sedangkan pada pembuatan katoda baterai EV, Indonesia saat ini tengah membangun pabrik lithium hidroksida sebagai material yang akan digunakan untuk pembuatan katoda.
Dengan demikian, pada sisi hilir ini, Indonesia masih membutuhkan pabrik separator, elektrolit, dan aluminium foil.
Lebih lanjut, Seto mengungkapkan bahwa Indonesia saat ini tengah membangun pabrik lithium di Morowali, Sulawesi Tengah untuk memproduksi lithium sebagai komponen penting yang diperlukan untuk membuat baterai EV.
Dia menyebutkan bahwa nantinya pabrik lithium itu bisa menampung kapasitas hingga 60 ribu ton lithium. Pabrik lithium ini akan menghasilkan lithium yang terbagi menjadi dua jenis yakni Lithium Hidroksida dan Lithium Karbonat.
Seto menjelaskan bahwa lithium hidroksida sendiri bisa diproduksi dan digunakan untuk jenis baterai NMC (Nikel, Mangan, Kobalt). Sedangkan, lithium karbonat bisa digunakan untuk jenis baterai EV LFP (Lithium, Iron, Phosphate).
"Jadi lithium hidroksida yang kita miliki, yang sedang dibangun di Morowali akan memiliki kapasitas 60.000 ton lithium, dibagi menjadi 50.000 ton lithium hidroksida, ini untuk baterai NCM, lalu 10.000 ton lithium karbonat untuk baterai LFP," tambahnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan mengatakan Negeri Kanguru alias Australia tak ragu menyetujui penambahan 60 ribu ton ekspor lithium ke Indonesia.
Luhut menyebut Pemerintah Australia awalnya sepakat bahwa 60 ribu ton lithium yang diekspor ke Indonesia setiap tahunnya akan diproses di Morowali mulai tahun depan. Namun, Indonesia meminta adanya tambahan 60 ribu ton ekspor lithium kembali dari Australia.
Namun bedanya, dalam tambahan kali ini Pemerintah Indonesia juga meminta agar Australia turut terlibat dalam proyek hilirisasi produksi baterai kendaraan listrik di Indonesia dengan memiliki ekuitas. Dengan demikian, Indonesia dan Australia memiliki ekuitas dalam proyek baterai kendaraan listrik, meski nantinya teknologi dari Tiongkok.
"Kita kan sudah impor 60 ribu ton lithium dan kita smelting di Morowali akan mulai saya kira awal tahun depan proses smelternya. Kemarin ke sana kita minta lagi bisa gak 60 ribu lagi tapi kalian ikut partisipasi, ada equity juga," kata Luhut dalam acara Economic Update 2023 CNBC Indonesia, Senin (10/7/2023).
Dengan tambahan tersebut, maka fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) yang akan terbangun merupakan milik Indonesia-Australia. Sementara itu, teknologi pengolahannya nantinya dapat menggunakan dari Tiongkok.
"Itu disetujui Perdana Menterinya karena saya juga menyampaikan dalam bilateral diminta Presiden dan sampaikan itu," kata dia.
Di samping itu, menurut Luhut Menteri Perindustrian Australia pada 24 Juli 2023 mendatang kemungkinan juga akan melakukan kunjungannya ke Indonesia. Kunjungan tersebut antara lain untuk melihat progres kemajuan hilirisasi yang telah dilakukan Indonesia sejauh ini.
"Saya bilang, kita ketemu langsung ke industrinya, kita ajak ke Weda Bay kemudian kita ajak juga melihat program yang lain, mereka sangat antusias sekali untuk kerja sama," ujarnya.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Boro-Boro Ngucilkan, Ini Bukti Nyata AS Bergantung pada RI
