
Rupiah Stabil, Berkat 'Proyek Kesayangan' Pak Jokowi!

Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah carut marut ekonomi dunia, ternyata ada ekonomi domestik masih jauh lebih stabil dari negara lain. Hal ini dikarenakan channel atau lubang transmisi risiko global terhadap perekonomian Indonesia tidak lagi banyak.
Satu-satunya channel transmisi risiko yang signifikan saat ini adalah nilai tukar atau rupiah. Hal ini diungkapkan oleh Heriyanto Irawan, Ekonom Verdhana Sekuritas, dalam Nickel Conference, Rabu (26/7/2023).
"Hanya satu channel, bukan dua atau tiga. Apa channel tersebut? Channel itu satu-satunya adalah rupiah," paparnya.
Jika rupiah melonjak tinggi hingga Rp 16.000 atau Rp 17.000 per dolar AS, Heriyanto yakin masyarakat tidak akan melakukan hal yang biasa atau rutinitas (business as usual).
Namun, ketika suku bunga acuan di negara maju naik gila-gilaan dan perang terus berkecamuk, Heriyanto menilai pergerakan rupiah cukup stabil. Pada periode 2004-2005, Fed Fund Rate meningkat hingga 405 basis poin dan rupiah terdepresiasi hampir 20% pada periode tersebut.
Kemudian, pada 2015, saat itu Fed menaikkan suku bunganya sebesar 225 basis poin. Rupiah melemah 15%. Namun, ketika Fed menaikkan 500 basis poin pada 2022, depresiasi rupiah hanya berkisar 3%.
"Kenapa ketika the Fed menaikkan suku bunga lebih tinggi, tetapi rupiah luar biasa stabil?"
Data Verdhana, lanjut Heriyanto, menunjukkan setiap capital outflow atau arus modal keluar sebesar US$ 1 miliar, rupiah akan terdepresiasi hingga 5% pada 2012 hingga 2015.
Kemudian, setiap outflow US$ 1 milliar, rupiah jatuh hingga 1,7% pada periode 2016-2021. "Lagi-lagi, nilai depresiasinya berkurang," kata Heriyanto.
Pada 2021 hingga 2022, kisaran depresiasi hanya 1,1% setiap US$ 1 miliar uang yang kabur dari Tanah Air. "Saya tidak bilang rupiah imun, tetapi ini relatif stabil," sambungnya.
Salah satu yang membuat depresiasi rupiah tidak terlalu dalam adalah surplus transaksi berjalan. Pasalnya, ketika transaksi berjalan mengalami defisit, maka rupiah akan sangat rapuh. Sebaliknya, ketika transaksi berjalan surplus, maka rupiah akan stabil.
Dahulu, ketika Indonesia mengalami defisit transaksi berjalan, stabilitas rupiah mengacu pada surplus neraca modal. Tetapi, ketika Indonesia bergantung pada investasi asing, secara tidak langsung Indonesia 'mengimpor' risiko dari luar.
"Jadi kapan pun ketika ada kejadian yang tidak ada kaitannya dengan Indonesia, maka terjadi risk off," kata Heriyanto. Inilah yang menjadi lubang risiko eksternal Indonesia. Dengan demikian, dia mengingatkan hal yang harus dikontrol adalah transaksi berjalan.
Untuk membalik transaksi berjalan defisit menjadi surplus, Heriyanto percaya Indonesia memerlukan langkah transformatif. Hilirisasi, mineral termasuk nikel dan bauksit, adalah langkah yang tepat. Dia percaya ke depannya tidak hanya nickel, masih banyak barang mentah lainnya yang bisa dihilirisasi.
Bahkan, Heriyanto menghitung jika hilirisasi diterapkan pada ekspor besi dan baja nilainya bisa mencapai 2,5% dari PDB Indonesia.
![]() Data Pergerakan Nilai Tukar dan Neraca Eksternal RI. Verdhana Sekuritas. (Dok. Verdhana Sekuritas) |
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jreeeng! Ekonomi Daerah Penghasil Nikel Ini Tumbuh 23,8%
