
Iuran BPJS Berpotensi Naik di Juli 2025, Dampak KRIS?

Jakarta, CNBC Indonesia - Iuran BPJS Kesehatan berpotensi naik pada Juli 2025. Rencana kenaikan ini berdasarkan penghitungan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). DJSN pun memperhitungkan perubahan tarif standar layanan kesehatan Peraturan Menteri Kesehatan No. 3 Tahun 2023.
Anggota DJSN Muttaqien menekankan, dengan adanya kebijakan itu, surplus aset neto BPJS Kesehatan hingga 31 Desember 2023 yang sebesar Rp 56,50 triliun masih sanggup menjaga kondisi keuangan perusahaan untuk membayar klaim hingga September 2025.
"Kalau kita lihat tadi angka aset neto ya, aset neto kan tadi sudah sampai kepada Rp 56 triliun. Berarti kan ini memang sudah sampai kepada hampir kepada enam kali, 5,98 kali dari klaim," kata Muttaqien saat ditemui di Kantor Pusat BPJS Kesehatan, Selasa (18/7/2023).
Atas dasar itu, dia mengungkapkan neraca keuangan BPJS Kesehatan mampu bertahan surplus hingga 2024, meski ia tak mengungkapkan besarannya tanpa harus adanya kenaikan tarif iuran.
"Berarti dengan iuran BPJS yang sekarang terkumpul, kemudian juga dengan nanti aset neto yang ada itu masih aman tidak perlu ada kenaikan," tegasnya.
Barulah pada periode Agustus-September 2025 menurutnya defisit akan timbul hingga Rp 11 triliun berdasarkan hitungan aktuaria. Maka, sebelum itu, ia mengungkapkan, perlu adanya penyesuaian tarif sebelum periode tersebut.
"Agustus atau September itu kira-kira mulai ada defisit dari BPJS Kesehatan dana DJS Kesehatan ini. Kami sampaikan hitung sekitar Rp 11 triliun lah ya," tuturnya.
Namun untuk kenaikan besaran iuran, dia menegaskan belum bisa merincikan, termasuk persentase kenaikannya. Karena harus mengandalkan banyak pertimbangan, termasuk calon presiden pengganti Presiden Joko Widodo pada 2024 mendatang.
Dia juga menekankan bahwa besaran iuran akan menjadi keputusan Presiden yang akan diatur di regulasi di Peraturan Presiden, sehingga perubahan apapun terkait iuran (besaran, mekanisme, termasuk waktu pelaksanaan) akan diputuskan melalui Perpres.
Adapun, Perpres 64 Tahun 2020 Pasal 38 menyatakan besaran iuran ditinjau paling lama 2 (dua) tahun sekali dengan menggunakan standar praktek aktuaria jaminan sosial yang lazim dan berlaku umum dan sekurang-kurangnya memperhatikan inflasi, biaya kebutuhan Jaminan Kesehatan, dan kemampuan membayar iuran.
Sejak dini, dibutuhkan identifikasi dan mitigasi resiko yang diperlukan agar program JKN dapat terus berlanjut, bermutu, dan memberikan manfaat kepada masyarakat.
Selain itu, juga ada hitungan utilitas atau pemanfaatan BPJS Kesehatan yang meningkat hingga 2023, ditambah dengan adanya perluasan kontrak antara BPJS Kesehatan dengan pihak rumah sakit dari 2.963 pada 2022 menjadi 3.083 pada 2024.
Meski begitu, Muttaqien menegaskan, potensi kenaikan tarif iuran itu belum mempertimbangkan rencana kebijakan implementasi single tarif iuran atau kelas rawat inap standar (KRIS) yang menghapus sistem kelas 1, 2, 3 BPJS Kesehatan.
"Itu belum, karena ini intervensi kebijakannya baru intervensi dari Permenkes 3 ya dari tarif faskes. Nah tentu nanti kami DJSN sedang simulasi lagi tadi disampaikan oleh Pak Dirut, kita sedang monev kira-kira bagaimana pelaksanaannya dan simulasi lagi kira-kira bagaimana pelaksanaannya, dan simulasi lagi kira-kira nanti seperti apa," tuturnya.
Untuk aturan yang menjadi acuan penerapan KRIS sendiri dan perubahan tarif BPJS Kesehatan dalam revisi ketiga Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018, ia menegaskan, sebetulnya sudah di meja Presiden Joko Widodo, namun belum ditandatangani.
"Kalau revisi Perpres 82 infonya sudah menunggu tanda tangan dari Presiden. Infonya seperti itu (sudah di meja Jokowi) karena sudah harmonisasi antara kementerian/lembaga dan kita menunggu kira-kira kapan akan dikeluarkan revisi ketiga dari Perpres 82 tahun 2018 tersebut," kata Muttaqien.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kelas 1,2,3 BPJS Kesehatan Dihapus, Iuran Peserta Jadi Naik?