Bukti di RI yang Kaya Makin Kaya, yang Miskin Makin Miskin!
Jakarta, CNBC Indonesia - Angka kemiskinan di Indonesia pada Maret 2023 mengalami penurunan 0,21% poin terhadap September 2022 menjadi 9,36%. Namun angka kemiskinan yang turun itu tidak diiringi dengan turunnya angka ketimpangan atau gini ratio.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan, angka kemiskinan yang mencapai 9,36% dari total populasi Indonesia setara dengan 25,90 juta orang.
Jumlah tersebut lebih rendah dari tingkat kemiskinan pada September 2022 yang sebesar 9,57% atau sebanyak 26,36 juta orang, juga lebih rendah dari angka kemiskinan pada Maret 2022 yang sebanyak 9,54% atau 26,16 juta orang.
Penurunan angka kemiskinan terjadi saat garis kemiskinan meningkat 2,78% dibandingkan September 2022. Per Maret 2023, garis kemiskinan naik dari Rp 535.000 menjadi Rp 550.458. Peningkatan garis kemiskinan di wilayah perkotaan terpantau lebih tinggi dari wilayah perdesaan.
"Meskipun terus menurun, namun tingkat kemiskinan pada Maret 2023 belum pulih seperti masa sebelum pandemi," jelas Sekretaris Utama BPS Atqo Mardiyanto dalam konferensi pers, Senin (17/7/2023).
Berdasarkan komponen pembentuk garis kemiskinan, peranan komoditas makanan terhadap garis kemiskinan jauh lebih besar, dibandingkan peranan komoditas bukan makanan. Pada Maret 2023, peranan komoditas makanan mencapai 74,21%, sementara bukan makanan hanya sebesar 25,75%.
Adapun penurunan tingkat kemiskinan di perkotaan dan perdesaan, penurunan kemiskinan di perkotaan lebih besar daripada di pedesaan. BPS menyebut masih terjadi disparitas yang sangat besar antara perkotaan dan pedesaan.
"Pada Maret 2023, kemiskinan di perdesaan 12,22%, sementra di perkotaan 7,29%," jelas Atqo. Terjadi penurunan yang sangat dalam pada angka kemiskinan di perkotaan yang turun 0,24% dan angka kemiskinan di perdesaan hanya turun 0,14%.
Adapun tingkat kemiskinan pada Maret 2023 juga masih tinggi dibandingkan dengan tingkat kemiskinan pada September 2019 atau sebelum pandemi.
"Tingkat kemiskinan di perdesaan pada Maret 2023 lebih rendah 0,39% poin dibandingkan September 2019 atau sebelum pandemi. Sementara tingkat kemiskinan pada Maret 2023 masih tinggi 0,73% poin dibandingkan pada September 2019," kata Atqo lagi.
Pulihnya kondisi ekonomi masyarakat setelah pandemi Covid-19, laju inflasi yang terjaga, perkembangan harga pangan, dan penyaluran bantuan sosial (bansos) yang berlanjut mempengaruhi kondisi kemiskinan pada Maret 2023.
Bukti Yang Kaya Makin Kaya dan Miskin Makin Miskin di RI!
Berdasarkan data BPS, meskipun angka kemiskinan menurun, namun ketimpangan yang diukur dari gini ratio justru naik. Data BPS menunjukkan, pada Maret 2023 gini ratio sebesar 0,388.
Untuk diketahui, gini ratio digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pengeluaran masyarakat. Semakin tinggi koefisien gini, semakin tinggi pula ketimpangan di suatu wilayah.
Gini ratio di Indonesia pada Maret 2023 tersebut, naik dari 0,381 pada September 2022 dan 0,384 pada Maret 2022. Naiknya tingkat ketimpangan itu bahkan melebihi kondisi sebelum pandemi di mana pada September 2019, Gini ratio mencapai 0,380.
Masih tingginya tingkat ketimpangan di Indonesia yang mencapai 0,388 per Maret 2023 tersebut, semakin jauh dari target Presiden Joko Widodo (Jokowi) di dalam RPJMN 2024, yang mengharapkan gini ratio Indonesia turun menjadi 0,374.
Meningkatnya angka ketimpangan di Indonesia, kata Atqo disebabkan belum meratanya pertumbuhan ekonomi pada lapisan masyarakat.
Atqo merinci, jika pengeluaran penduduk dikelompokkan menjadi 3 lapisan, yaitu 20% kelompok atas, 40% kelompok menengah dan 40% kelompok masyarakat menengah-bawah, tercermin peningkatan pengeluaran terjadi pada 20% kelompok atas.
"Dengan kata lain, kenaikan ketimpangan (gini ratio) disebabkan naiknya pengeluaran golongan atas. Oleh karena itu ketimpangan naik, khususnya di perkotaan karena pertumbuhan pengeluaran masyarakat menengah-bawah lebih lambat dari yang atas," ujar Atqo.
(cap/cap)