
Ternyata Ini Sebabnya Warga Ogah Naik Bus Cs, Bikin DKI Macet

Jakarta, CNBC Indonesia - Jumlah pengguna transportasi publik di Jakarta mengalami penurunan. Di sisi lain, pengguna kendaraan pribadi dilaporkan melonjak. Pasalnya, warga yang bekerja di Jakarta harus merogoh duit lebih banyak untuk ongkos, dibandingkan naik kendaraan pribadi.
Kondisi ini pun disebut menjadi biang kerok semakin macetnya lalu lintas di jalanan Jakarta.
"Jumlah pengguna transportasi publik di DKI menurun jadi hanya sekitar 10%. Turun jauh, drastis bahkan dibandingkan sebelum pandemi," kata Direktur Eksekutif Pusat Studi Perkotaan Nirwono Joga dalam Profit CNBC Indonesia, Jumat (7/7/2023).
"Artinya, 90% menggunakan kendaraan pribadi, yaitu 21 juta pengguna motor, dan 4 juta pengguna mobil. Dan ada penambahan 30% dari timur itu Bekasi, barat itu Tangerang, dan selatan dari Depok dan Bogor," tambahnya.
Akibatnya, lanjut dia, bisa dibayangkan kepadatan lalu lintas di Jakarta.
"Padahal lebar jalan di Jakarta hanya 6%, kalau mau ideal 12% dari total wilayah Jakarta," katanya.
Nirwono menjelaskan, salah satu penyebab semakin banyaknya pekerja di DKI memilih naik kendaraan pribadi adalah karena ongkos yang melonjak.
"Biaya transportasi massal ternyata masih lebih mahal dari kendaraan pribadi. Seperti motor, yang door to door. Jadi masih milih naik motor daripada transportasi publik," katanya.
"Sebagai contoh, berangkat kerja dari Depok menuju Sudirman. Katakan dari Cinere, dari rumah itu pekerja harus naik ojek online rata-rata ongkosnya Rp30.000. Lalu dari Fatmawati ongkos sekali naik ke Stasiun HI itu Rp14.000. Jadi, sekali jalan, sudah menghabiskan sekitar Rp45.000-an sekali jalan. Kalau sehari Rp90.000. Kalau sebulan?," ujar Nirwono.
Belum lagi, kata dia, waktu tempuh naik transportasi massal butuh sampai 2 kali lipat waktu tempuh kendaraan pribadi.
Akibatnya, kata dia, pengguna kendaraan pribadi akan sulit beralih ke transportasi publik.
Karena itu, ujar Nirwono, kebijakan penanganan kemacetan di Jakarta harus memperhitungkan data-data terkait kepadatan dan populasi kendaraan di Jakarta.
"Harus ada dukungan mendasar, pengurangan pergerakan kendaraan pribadi. Menaikkan penggunaan transportasi massal. Kalau mau menyaturkan transportasi bakal butuh waktu lama ya, menyaturkan LRT, MRT, dan Transjakarta. Bisa sampai 10 tahun ke depan," jelasnya.
"Dan, pembatasan pergerakan kendaraan pribadi harus berlaku tak hanya di wilayah Jakarta, tapi juga Bodetabek (Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi). Nggak bisa hanya di Jakarta," kata Nirwono.
Terkait wacanan pembagian jam kerja di Jakarta, dia mengatakan, sistem itu sebenarnya sudah pernah diberlakukan di Jakarta. Pada waktu kepemimpinan Gubernur DKI Fauzi Bowo. Di mana, pada tahun 2008, jam sekolah di DKI dibagi jadi pukul 6.30 atau 6.45 WIB dan jam perkantoran diimbau pukul 09.00 WIB.
"Tapi dulu banyak dikritik dan nggak berhasil," katanya.
"Dan, sebenarnya pemerintah sudah memberlakukan work from home atau work from anywhere (kerja dari rumah atau dari mana saja). Sudah ada Perpresnya oleh Presiden Jokowi soal pelaksanaan work from home atau work from anywhere," kata Nirwono.
Sebelumnya, Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono menyinggung pembagian jam kerja di wilayah DKI Jakarta. Wacana ini sempat muncul beberapa waktu lalu saat Polri mengusulkan metode mengurai kemacetan di Jakarta yang kian meningkat.
"Ada sejumlah solusi kemacetan yang dapat diambil, diantaranya usulan pembagian jam masuk karyawan di Jakarta menjadi pukul 08.00 dan 10.00. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengurai kemacetan akibat tingginya volume kendaraan yang menuju ke Jakarta di pagi hari, sebagaimana yang disampaikan pihak Dirlantas Polda Metro Jaya," tulis Heru dalam unggahan di akun Instagram resminya, dikutip Jumat (7/7/2023).
"Banyak masukan bagaimana kalau jam kerja dibagi, utamanya saya diskusi dengan Pak Kapolda dan Dirlantas kalau jam 6 itu seperti air bah (kendaraan) dari Bekasi, Tangerang, Depok, menuju Jakarta," kata Heru.
(dce/dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article 'Jalan-Jalan Tikus' di Jakarta Mendadak Ramai, Ada Apa?
