Pantas BI Was-was, Begini Dampaknya Situasi AS-China ke RI

Tim Redaksi, CNBC Indonesia
23 June 2023 13:25
U.S. and Chinese flags are seen in this illustration taken, January 30, 2023. REUTERS/Dado Ruvic/Illustration
Foto: REUTERS/DADO RUVIC

Jakarta, CNBC Indonesia - Situasi ekonomi Amerika Serikat (AS) dan China, diperkirakan akan membuat tekanan terhadap perekonomian tanah air. Hal ini yang terus diwaspadai oleh para pelaku ekonomi saat ini.

Kepala Ekonom Bank Mandiri (BMRI) Andry Asmoro menjelaskan, perlambatan ekonomi China bukan merupakan sesuatu yang baru, bahkan jauh sebelum pandemi terjadi. Ekspektasi rata-rata pertumbuhan ekonomi China akan berada pada kisaran 5% hingga 6%.

Saat bicara ekonomi China, tidak bisa dilepaskan dari perkembangan ekonomi di negara-negara tujuan ekspor China, terutama Amerika Serikat (AS) maupun Eropa.

"Amerika Serikat tentu melambat pertumbuhannya menuju resesi. Bahkan Eropa sudah resesi terlebih dahulu. Tentu saja ini menyulitkan mereka yang mengandalkan ekspor, terutama industri manufakturnya," jelas Andry kepada CNBC Indonesia beberapa waktu lalu, dikutip Jumat (23/6/2023).

Indonesia dari sisi perdagangan internasional, juga tentu akan terpengaruh dari adanya situasi perlambatan ekonomi di China. China memiliki peranan yang sangat besar bagi perdagangan Indonesia.

"Kalau kita lihat kontribusinya sekitar 25,4% dari total perdagangan kita (Indonesia) ke China share-nya. Sementara dibandingkan ekspor Indonesia ke AS 9,3%. Jadi, tentu saja ini yang kemudian membuat pertumbuhan ekspor akan melandai di 2023 ini," jelas Andry lagi.

Sementara itu, merujuk data perdagangan China, impor di China 32% diantaranya berasal dari Indonesia. Sehingga ke depan, diperkirakan ekspor ke China akan relatif melambat.

Dihubungi terpisah, situasi yang sedang tidak baik-baik saja di China dan AS, juga kata Kepala Ekonom BCA David Sumual akan membuat nilai surplus perdagangan Indonesia akan menyusut.

"Perlambatan kedua negara (AS dan China) ini pasti akan ada pengaruhnya ke ekspor. Kita antara lain lumayan besar ekspor furnitur, alas kaki, tekstil, perikanan ke AS. Ke China banyak ekspor besi/baja, CPO, dan batubara. Surplus bisa mengecil," tutur David.

Surplus perdagangan berdampak positif dalam meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB dan mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, menyusutnya surplus perdagangan di tanah air bisa melemahkan perekonomian Indonesia secara keseluruhan.

Melansir data Badan Pusat Statistik (BPS) surplus pada neraca perdagangan Indonesia pun mulai terlihat adanya penurunan nilai.

Surplus neraca perdagangan Indonesia pada Mei 2023 sebesar US$ 436,5 juta atau turun 88,9% secara bulanan (month on month), serta melemah 84,9% secara tahunan (yoy). Kendati demikian, anjloknya surplus pada Mei 2023 dipengaruhi oleh pertumbuhan impor yang tinggi ketimbang ekspor.

BPS mencatat lonjakan impor pada Mei 2023 didorong oleh naiknya pembelian minyak mentah dari luar negeri.

BI Ikut Was-was 

Bank Indonesia (BI) pun turut mewaspadai situasi perekonomian di AS dan China saat ini. Pada rapat dewan gubernur (RDG) BI bulan Juni 2023, memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di level 5,75%.

Keputusan tersebut untuk memastikan laju inflasi terkendali dan memastikan stabilitas rupiah, sebab ke depan ketidakpastian ekonomi global masih akan tinggi, terutama yang bersumber dari AS dan China.

Perry menjelaskan tekanan inflasi Amerika Serikat (AS) masih tinggi sehingga ada kemungkinan bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) akan mengerek suku bunga sebesar 25 bps pada Juli.

Seperti halnya The Fed, bank sentral Eropa (ECB) juga diperkirakan masih akan hawkish. Sebaliknya, beberapa bank sentral malah memilih kebijakan longgar seperti Jepang dan China. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Perry mengatakan pertumbuhan ekonomi China di bawah ekspektasi banyak pihak. Padahal, Tiongkok adalah sumber utama pertumbuhan ekonomi Asia, termasuk Indonesia.

Bank sentral China pada Selasa (20/6/2023) memangkas suku bunga pinjaman untuk memompa ekonomi. Bank sentral Jepang (BoJ) juga lebih memilih untuk mempertahankan suku bunga ultra rendahnya pekan lalu untuk mendukung ekonomi.

"Perkembangan tersebut memerlukan penguatan respons kebijakan untuk memitigasi risiko rambatan terhadap ketahanan eksternal di negara berkembang, termasuk Indonesia," jelas Perry dalam konferensi pers kemarin Kamis (22/6/2023).


(cap/cap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kondisi Berbalik! AS di Ambang Kehancuran, China Berjaya

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular