Dolar Naik Turun di Level Rp 15.000, Ini Biang Keroknya!

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
21 June 2023 07:57
Warga mengantre untuk menukarkan uang Rupiah kertas baru Tahun Emisi (TE) 2022 di Pasar Tebet Barat, Jakarta Selatan, Rabu (24/8/2022). Pemerintah melalui Bank Indonesia secara resmi mengeluarkan tujuh uang kertas baru tahun emisi 2022. Uang kertas baru ini terdiri dari pecahan Rp 100.000, Rp 50.000, Rp 20.000, Rp 10.000, Rp 5.000, Rp 2.000, dan Rp 1.000. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Warga mengantre untuk menukarkan uang Rupiah kertas baru Tahun Emisi (TE) 2022 di Pasar Tebet Barat, Jakarta Selatan, Rabu (24/8/2022). Pemerintah melalui Bank Indonesia secara resmi mengeluarkan tujuh uang kertas baru tahun emisi 2022. Uang kertas baru ini terdiri dari pecahan Rp 100.000, Rp 50.000, Rp 20.000, Rp 10.000, Rp 5.000, Rp 2.000, dan Rp 1.000. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah bergerak fluktuatif dan menyentuh level Rp 15.000/US$ dalam beberapa hari terakhir. Lantas apa yang menjadi faktor rupiah bahkan menembus level Rp 15.000/US$?

Ekonom Bahana yakni Satria, Rami, dan Drewya mengungkapkan, rupiah menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di Asia bulan ini, sebab di bulan Junia rupiah mengalami depresiasi 1,2%.

"Pandangan kami adalah rupiah mengalami pelemahan teknis setelah berbulan-bulan berkinerja lebih baik (apresiasi 3,5% year to date) serta ketidakcocokan pasokan permintaan valas domestik," jelasnya, Rabu (21/6/2023).

Menurut Satria, Rami, dan Drewya, terlepas dari faktor-faktor yang jelas seperti menyusutnya surplus perdagangan dan repatriasi dividen yang tinggi yang melemahkan rupiah, ada permintaan valas yang juga sangat tinggi sepanjang bulan Mei-Juni.

Mengingat pada bulan-bulan tersebut, umat muslim di seluruh Indonesia melakukan ibadah haji dan adanya konversi valas oleh PT Pertamina (Persero).

"Mengenai haji, perkiraan kami menunjukkan US$ 1,5 miliar dalam aliran uang keluar (berdasarkan kuota 2023 sebanyak 220.000 jamaah, kembali ke tingkat sebelum Covid-19)," ujarnya.

"Sedangkan untuk Pertamina, perhitungan kami menunjukkan sekitar US$ 2 miliar konversi forex dari rupiah ke dolar Amerika Serikat (AS) akan diperlukan dalam beberapa minggu mendatang," ujarnya lagi.

Adapun cadangan devisa Indonesia pada bulan Mei 2023 sebesar US$ 139,3 miliar atau turun 3,39% secara bulanan, turun US$ 4,9 miliar dari sebelumnya sebesar US$ 144,2 miliar pada April 2023.

Menurut para ekonom Bahana ini, menyusutnya cadangan devisa pada bulan lalu, menunjukkan Bank Indonesia (BI) bermaksud untuk melakukan intervensi besar-besaran selama puncak permintaan devisa pada bulan Mei-Juni 2023.

Setelah periode ini, tekanan rupiah akan mereda karena permintaan dolar AS musiman yang tinggi berkurang.

Kendati demikian, ada baiknya bagi para otoritas terkaiit untuk bersikap defensif dalam waktu dekat, karena nilai tukar rupiah terhadap dolar mungkin pertama kali menyentuh level Rp 15.300/US$ hingga Rp 15.5000/US$.

"Sebagian besar dipengaruhi oleh faktor domestik. Cadangan devisa Bank Indonesia telah mengalami penurunan terbesar di Asia bulan lalu, menekankan perlunya keseimbangan yang hati-hati dalam tindakan intervensi rupiah mereka," jelasnya.

Kepala ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro menjelaskan sentimen negatif memang tengah membayangi rupiah sehingga mata uang Garuda keok melawan dolar Amerika Serikat (AS).

"Sentimen lagi besar banget untuk pelemahan rupiah. terutama inflasi AS, kenaikan suku bunga acuan, dan pelemahan China," tutur Andry, kepada CNBC Indonesia.

Mata uang Garuda juga melemah karena kencangnya arus modal asing yang keluar dari pasar Surat Berharga Negara (SBN). Imbal hasil SBN tenor 10 tahun hari ini dibuka naik 0,01 basis poin (bp) menjadi 6,32%. Imbal hasil yang naik menandai harga SBN yang melandai karena investor melepas SBN, terutama investor asing.

Adapun, selama pekan ini, ketidakpastian di pasar meningkat terutama dari dalam negeri yang masih menanti keputusan rapat dewan gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) mengenai kebijakan suku bunga di tengah kekhawatiran pelaku pasar akan kebijakan hawkish the Fed berlanjut.

Sejauh ini, pelaku pasar memproyeksikan BI masih akan kembali menahan suku bunga di level 5,75%. Hingga rapat terakhir pada bulan lalu, itu berarti suku bunga sebesar 5,75% kemudian ditahan selama empat bulan terakhir.


(cap/cap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Dunia Suram! Dolar AS Dipatok Rp15.300 di 2024

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular