Terungkap! Rahasia China Bisa Jual Barang Super Murah ke RI

Damiana Cut Emeria, CNBC Indonesia
18 June 2023 06:40
Efek berantai dari wabah virus corona di China sudah terasa dalam hal perdagangan khususnya rantai pasok bahan baku tekstil dan produk tekstil ke Indonesia. Produsen pakaian di dalam negeri yang selama ini bergantung dari kain dan pewarna dari China mulai kena dampaknya.

Wakil Ketua Kadin Indonesia Bidang Perdagangan Benny Soetrisno yang juga pemilik pabrik pakaian dan tekstil, mengatakan baru-baru ini dampak virus corona sudah terasa terhadap pasokan barang. Saat ini proses produksi barang masih memakai stok yang lama, tapi untuk bahan baku bulan depan sudah mengkhawatirkan.  

Ada sebagian belum bisa berangkat dari China, produksi belum Stop. Karena bahan baku yang belum bisa berangkat untuk produksi bulan April.
Jenis barang Kain dan zat Pewarna,
Foto: Penjualan Busana (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Barang impor dari China digadang-gadang menjadi pemicu utama kehancuran industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia. Hal ini disebabkan oleh barang TPT impor asal China yang sangat murah.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi mengakui bahwa industri TPT nasional banyak didominasi perusahaan dengan modal terbatas. Sementara itu, impor TPT China terus mengalir. Tidak main-main, kualitasnya mumpuni dengan harga murah.

"Serbuan produk impor ini sudah puluhan tahun kami serukan. Dan agar impor ilegal diberantas. Maraknya perjanjian perdagangan dan sejenisnya itu membuat serbuan impor semakin bebas. Akibatnya mematikan produsen di dalam negeri," kata Ristadi kepada CNBC Indonesia, dikutip Kamis (8/6/2023).

Dia mencontohkan kain katun impor China hanya dibanderol Rp15.000 per meter, sementara kalau diproduksi lokal jadinya Rp30.000 per meter.

"Nggak habis pikir memang gimana cara mereka (China) menghitung biayanya," ungkap Ristadi. Murahnya kain China ini, membuat perajin batik di Pekalongan beralih ke kain produksi China.

"Perajin Batik tahu itu kainnya sekarang dari China dan menyadari memang itu sudah hukum pasar, barang murah dan bagus, itu yang dicari. Ini sudah jadi momok, lingkaran setan, kita sudah suarakan puluhan tahun," ujarnya.

Lantas, apa yang membuat produk China lebih murah?

Ristadi mengatakan bahwa biaya produksi di China lebih efisien. Selain itu, sistem upah tenaga kerja di China berbeda dengan Indonesia.

"Memang, tak hanya dari segi upah, biaya di China itu lebih efisien. Mulai dari pelayanan, insentif, harga energi, sampai infrastruktur yang tentu berdampak ke cost juga. Perizinan kita memang sudah mengarah ke sana ya, lebih efisien," ujarnya.

"Dan, bicara soal upah, di sini ada salah kaprah soal upah minimum, dianggap sebagai upah maksimum. Perusahaan seolah, penting sudah mengikuti aturan. Akibatnya, pekerja yang baru masuk dan yang sudah puluhan tahun bekerja, upahnya sama," kata Ristadi.

Meski tak bisa menjadikan korelasi keduanya, Ristadi menduga bisa saja hal itu berpengaruh kepada produktivitas pekerja.

Dia mengakui produktivitas pekerja di China memang lebih tinggi. Misal pabrik sepatu, pekerja China bisa mengerjakan 1,5 atau 2 pasang dalam sehari. Tapi dalam waktu yang sama pekerja Indonesia hanya 1 pasang.

"Padahal si pekerja China itu upahnya sama mau kerjakan 1 atau 2," katanya.

"Tapi memang ada lah pengaruh attitude dan lingkungan juga terhadap produktivitas pekerja. Karena pekerja merasa mau rajin atau tidak, gajinya sama," ujarnya.

Dia pun bercerita ketika ada protes kepada perusahaan yang memberi upah lebih besar kepada pekerja China.

"Jawabnya, 1 pekerjaan yang ditangani pekerja China, ditangani 2 orang oleh lokal. Bukan merendahkan, tapi faktanya begitu. Misalnya 1 tim anggotanya 10, yang jadi mandornya itu 7 orang. Kalau pekerja China itu memang seperti nggak ada capeknya. Dan, saya pernah kunjungan pabrik, ada pekerja China dan lokal, cara masang batanya itu memang beda," tukasnya.

Oleh sebab itu, dia pun berharap pemerintah mengevaluasi kebijakan-kebijakan terkait upah minimum. Dan, memacu peningkatan kualitas pekerja Indonesia melalui vokasi.

"Sekarang itu, ada tren baru. Karyawan sekarang banyak yang hanya tahan kerja 1-3 bulan, gampang capek, produktivitasnya jauh dengan angkatan 1990-2000-an. Capek dikit langsung sakit, besoknya nggak masuk," tegas Ristadi.


(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Airlangga Optimistis Tekstil RI Bisa Bangkit Lagi!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular