Mirisnya Nasib Proyek Kesayangan Jokowi, Auto Elus Dada

Eqqi Syahputra, CNBC Indonesia
17 June 2023 19:30
Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam acara Indonesia Emas 2045, Kamis (15/6/2023). (Tangkapan layar Youtube  Bappenas RI)
Foto: Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam acara Indonesia Emas 2045, Kamis (15/6/2023). (Tangkapan layar Youtube Bappenas RI)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kepemimpinan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dikenal sukses menggenjot nilai tambah dari komoditas-komoditas mentah tambang melalui hilirisasi pertambangan.

Nikel menjadi salah satu bahan mentah tambang yang sukses membuat Indonesia meraup nilai tambah yang berganda sejak dijual berupa logam atau hasil pengolahan di dalam negeri. Misalnya saja seperti iron steel, baterai untuk kendaraan listrik dan lainnya.

Sayangnya, proyek yang menjadi kebanggaan Presiden Jokowi ini kerap kali menemui sebuah 'standar ganda' dari negara-negara lain seperti Uni Eropa dan juga Amerika Serikat (AS) yang terlihat dari sikap mereka seperti memberi hambatan untuk Indonesia bermain di pasar dunia.

Pertama, kebijakan hilirisasi pertambangan nikel yang mendapatkan pengajuan gugatan di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) oleh Uni Eropa (UE). Dalam gugatan ini, hilirisasi nikel Indonesia dinyatakan kalah.

Untungnya, pemerintahan Jokowi cukup dapat dikatakan lantang dan berani terhadap ancaman-ancaman yang dapat merugikan RI. Misalnya saja, sejak dinyatakan kalah dalam sidang WTO, pemerintah langsung mengajukan banding atas gugatan Uni Eropa di WTO itu.

"Digugat di WTO, terus, kalah tetap terus, karena inilah yang akan melompatkan negara berkembang jadi negara maju, apalagi negara kita. Jangan berpikir negara kita akan jadi negara maju kalau kita takut menghilirkan bahan-bahan mentah yang ada di negara kita," tegas Presiden Jokowi belum lama ini, dikutip Sabtu (17/6/2023).

Kedua, Indonesia juga sempat dikucilkan Amerika Serikat (AS) dengan tidak dimasukkannya produk hasil produk nikel RI dalam rencana pembuatan Undang-undang (UU) pengurangan inflasi atau Inflation Reduction Act (IRA). Menurut mereka, produk nikel RI yang sudah dihilirisasi masih dinilai kurang hijau.

Melalui undang-undang baru IRA, AS diketahui bakal memberikan kredit pajak atas pembelian mobil listrik. Undang-undang ini mencakup US$ 370 miliar dalam subsidi untuk teknologi energi bersih.

Meski demikian, insentif ini dikhawatirkan tidak berlaku atas mobil listrik dengan baterai yang mengandung komponen nikel dari Indonesia. Alasannya, Indonesia belum memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan AS dan juga dominasi perusahaan China dalam industri nikel RI.

"Kita ini dihambat terus, termasuk soal IRA (Kebijakan AS). Sebenarnya posisi kita enak untuk melawan, karena mereka sedang sibuk dengan geopolitik masing-masing," ungkap Jokowi di Istana Negara.

Ketiga sekaligus yang terbaru, produk dari hilirisasi nikel Indonesia yakni iron steel terkena 'jegal' oleh Uni Eropa. Negara-negara gabungan barat itu mengenakan trade barrier yang memberikan dampak tidak dapatnya anti dumping dan anti subsidi atas produk iron steel Indonesia.

"Kalau saya lihat sekarang ini lebih dari trade barrier yang diciptakan dari negara-negara lain ya. Misalnya iron steel kita, produk-produk hasil hilirisasi nikel kita itu banyak dikenakan anti dumping, anti subsidi ya dari Uni Eropa," ucap Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves, Septian Hario Seto dalam Diskusi Forum Merdeka Barat 9, Senin (12/6).

Seto membeberkan, saat ini yang menjadi hambatan dari pengembangan hilirisasi di Indonesia terletak pada terhalangnya perdagangan ke luar negeri. Jika dilihat, negara lain seperti India dan Korea Selatan sudah mulai menginvestigasi hasil hilirisasi nikel di Indonesia misal pada harga dan dampak bagi negara tersebut.

"Ya saya lihat trennya dari negara-negara lain seperti India, Korea Selatan sudah mulai investigasi untuk itu. Ya saya kira ini tantangan yang utama ya, yang harus kita hadapi saat ini misalnya produk hilirnya dikenakan trade remedies seperti itu," jelasnya.

Seto khawatir hal ini akan menjadi isu besar bagi hilirisasi hasil tambang di Indonesia. hal itu dikarenakan produk dari Indonesia yang harganya menjadi tidak kompetitif di pasar internasional.

"Ini akan jadi isu yang besar ya, karena barang kita jadi tidak kompetitif di pasar internasional," pungkasnya.


(fab/fab)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article AS Cabut, China Ajukan diri Masuk Proyek Kesayangan Jokowi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular