
Terungkap! Ini Alasan Barang China Bisa Murah Banget di RI

Jakarta, CNBC Indonesia - Barang impor China yang terkenal murah ditengarai menjadi salah satu penyebab ambruknya industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di dalam negeri. Terutama, perusahaan yang berorientasi pada pasar domestik.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi mengatakan, kondisi ini membuat industri TPT lebih tertekan dibandingkan industri sepatu (alas kaki). Apalagi, industri TPT nasional banyak didominasi perusahaan dengan modal terbatas.
"Serbuan produk impor ini sudah puluhan tahun kami serukan. Dan agar impor ilegal diberantas. Maraknya perjanjian perdagangan dan sejenisnya itu membuat serbuan impor semakin bebas. Akibatnya mematikan produsen di dalam negeri," kata Ristadi kepada CNBC Indonesia, dikutip Sabtu (10/6/2023).
Di sisi lain, dia mengakui, barang impor, terutama asal China memang murah dan kualitasnya pun masih mumpuni.
"Kain katun impor China hanya dibanderol Rp15.000 per meter, sementara kalau diproduksi lokal jadinya Rp30.000 per meter. Nggak habis pikir memang gimana cara mereka (China) menghitung biayanya, ungkap Ristadi.
"Dan ini yang bikin ada pabrik kain, yang tadinya memasok kain ke perajin Batik di Pekalongan, beralih jadi importir kain dari China. Dia jadi seperti maklon di sana. Perajin Batik tahu itu kainnya sekarang dari China dan menyadari memang itu sudah hukum pasar, barang murah dan bagus, itu yang dicari. Ini sudah jadi momok, lingkaran setan, kita sudah suarakan puluhan tahun," ujarnya.
Selidik punya selidik, imbuh dia, banyak faktor yang membuat barang China bisa diproduksi lebih murah.
"Memang, tak hanya dari segi upah, biaya di China itu lebih efisien. Mulai dari pelayanan, insentif, harga energi, sampai infrastruktur yang tentu berdampak ke cost juga. Perizinan kita memang sudah mengarah ke sana ya, lebih efisien," cetusnya.
"Dan, bicara soal upah, di sini ada salah kaprah soal upah minimum, dianggap sebagai upah maksimum. Perusahaan seolah, penting sudah mengikuti aturan. Akibatnya, pekerja yang baru masuk dan yang sudah puluhan tahun bekerja, upahnya sama," kata Ristadi.
Meski tak bisa menjadikan korelasi keduanya, Ristadi menduga bisa saja hal itu berpengaruh kepada produktivitas pekerja.
"Produktivitas pekerja di China memang lebih tinggi. Misal pabrik sepatu, pekerja China bisa mengerjakan 1,5 atau 2. Tapi dalam waktu yang sama pekerja Indonesia hanya 1. Padahal si pekerja China itu upahnya sama mau kerjakan 1 atau 2," katanya.
"Tapi memang ada lah pengaruh attitude dan lingkungan juga terhadap produktivitas pekerja. Karena pekerja merasa mau rajin atau tidak, gajinya sama," ujarnya.
Dia pun bercerita ketika ada protes kepada perusahaan yang memberi upah lebih besar kepada pekerja China.
"Jawabnya, 1 pekerjaan yang ditangani pekerja China, ditangani 2 orang oleh lokal. Bukan merendahkan, tapi faktanya begitu. Misalnya 1 tim anggotanya 10, yang jadi mandornya itu 7 orang. Kalau pekerja China itu memang seperti nggak ada capeknya. Dan, saya pernah kunjungan pabrik, ada pekerja China dan lokal, cara pasang batanya itu memang beda," tukasnya.
Karena itu, dia pun berharap pemerintah mengevaluasi kebijakan-kebijakan terkait upah minimum. Dan, memacu peningkatan kualitas pekerja Indonesia melalui vokasi.
"Sekarang itu, ada tren baru. Karyawan sekarang banyak yang hanya tahan kerja 1-3 bulan, gampang capek, produktivitasnya jauh dengan angkatan 1990-2000-an. Capek dikit langsung sakit, besoknya nggak masuk," pungkas Ristadi.
(dce/dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Misteri Barang China Bisa Murah Banget di RI Kini Terungkap
