
5 'Malapetaka' Fix Hantam China, Mau Ambruk?

Jakarta, CNBC Indonesia - Tanda-tanda perlambatan ekonomi terus datang dari China. Selama sepekan terakhir, sejumlah data menunjukan kemungkinan ekonomi negeri Presiden Xi Jinping mengalami penurunan.
Apa saja? Berikut rangkuman CNBC Indonesia, Kamis (8/6/2023).
Ekspor Jeblok
Kinerja perdagangan raksasa global tersebut yang tercatat melorot sepanjang Mei menjadi lampu kuning bagi laju pemulihan yang masih lambat. Berdasarkan dana bea dan cukai China yang dirilis Rabu , ekspor Negeri tirai bambu turun 7,5% secara tahunan sepanjang Mei.
Senada dengan ekspor, realisasi impor juga turun 4,5% secara tahunan. Hasil tersebut membuahkan tanda tanya besar terkait pemulihan ekonomi negara tersebut yang belum lama ini mencabut kontrol ketat terkait Covid-19.
Pasalnya, lemahnya kinerja perdagangan juga menggambarkan permintaan global yang melemah di tengah tekanan suku bunga yang masih tinggi.
Ekspor turun menjadi US$ 283,5 miliar, berbalik dari pertumbuhan kuat 8,5% yang tak terduga pada April. Impor turun menjadi US$ 217,7 miliar, cenderung moderat dari kontraksi 7,9% pada bulan sebelumnya.
Sementara itu, surplus perdagangan global China menyempit sebesar 16,1% menjadi US$ 65,8 miliar pada Mei. Pelemahan perdagangan menambah tekanan ke bawah pada ekonomi terbesar kedua di dunia itu menyusul aktivitas pabrik dan konsumen yang lesu serta lonjakan pengangguran di kalangan kaum muda.
"Ekspor China akan tetap lemah karena kami mengantisipasi ekonomi AS memasuki resesi," kata Lloyd Chan dari Oxford Economics dalam sebuah laporan, dikutip Associated Press.
Property "Lampu Kuning"
Lampu tuning juga muncul dari sektor properti. Penjualan rumah baru untuk pekan yang berakhir 28 Mei tumbuh 11,8% dari tahun lalu, yang merupakan penurunan tajam dari 24,8% seminggu sebelumnya.
"Dalam pembalikan dari April, harga meningkat di pasar perumahan tetapi penjualan melambat," kata China Beige Book yang berbasis di AS dalam laporannya untuk Mei, dikutip dari CNBC International pekan lalu.
"Di properti komersial, harga dan transaksi melemah tajam. Hasil yang buruk dalam konstruksi dan berkurangnya aktivitas fiskal membuat pendapatan dan produksi produsen tembaga di bulan Mei mengalami kontraksi," bunyi laporan lagi yang diambil berdasarkan survei perusahaan riset terhadap 1.085 bisnis dari 18 hingga 25 Mei.
Beijing telah mengurangi tekanannya pada pengembang real estat tahun lalu. Ini menyusul tindakan keras karena besarnya utang sektor ini pada Agustus 2020.
Diketahui properti dan industri terkait telah menyumbang lebih dari seperempat ekonomi China. Namun banyaknya proyek mangkrak dan turunnya penjualan jadi cerita lain.
Penurunan penjualan misalnya, berasal dari kota-kota terbesar di China. Contohnya saja, Shanghai dan Beijing yang menjadi hot spot karena migrasi warga demi mencari pekerjaan.
Selain dari penjualan, investor di pengembang properti China juga semakin skeptis terhadap pasar. Indeks pasar iBoxx untuk obligasi real estat hasil tinggi China kembali turun mendekati posisi perdagangannya pada November.
Ini terjadi ketika Beijing mengumumkan deretan dukungan untuk sektor ini melalui apa yang dinamakan 'rencana 16 poin'. Rencana itu sendiri salah satunya berisi panduan ke bank untuk mendorong properti.
"Sementara rencana itu telah berperan penting untuk mengatasi krisis ini, inisiatif tersebut hanya ditujukan untuk mendukung utang pengembang pada tingkat proyek," kata analis S&P Global Ratings dalam laporan 22 Mei.
"Itu berarti masih ada ketidakpastian tentang apakah pengembang dapat membayar investor untuk obligasi di tingkat perusahaan induk," tambah S&P lagi mengaku sedang mengamati apakah pengembang dapat menghasilkan cukup uang dari penjualan properti.
Diketahui di April, penjualan properti nasional turun menjadi 900 miliar yuan. Ini di bawah rata-rata bulanan tahun lalu sebesar 1,1 triliun yuan.
Sementara itu, di pasar rumah sekunder, aktivitas bisnis "telah mendingin" sejak April. Itu terbukti dengan penurunan jumlah rumah yang terdaftar untuk dijual, harga yang diminta lebih rendah, dan lebih sedikit transaksi.
"Perlambatan ini mengikuti rebound kuat di kuartal 1 2023, menunjukkan kepercayaan pembeli rumah tetap rapuh di tengah prospek ekonomi yang tidak pasti dan prospek pekerjaan yang lemah," tulis laporan Fitch Ratings.
Kinerja yang lemah di bulan Mei terjadi di tengah meningkatnya harapan pasar untuk pemulihan. Sebelumnya, survei triwulanan oleh People's Bank of China padahal menemukan peningkatan minat penduduk lokal untuk membeli rumah dalam beberapa bulan mendatang.
"Pasar real estat masih dalam periode penyesuaian," kata Liu Lijie, analis pasar di Beike Research Institute.
"Kebijakan pemerintah perlu meningkatkan ekspektasi pasar untuk pemulihan real estat. Langkah-langkah tambahan dapat diambil bahkan di kota-kota besar untuk meningkatkan pembelian rumah," tambahnya.
"Tsunami" Pengangguran
Sementara itu, data baru juga menunjukkan tingkat pengangguran usia 16 - 24 tahun di China menembus 20,4% pada April lalu. Hal ini menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah.
Banyak pemuda di China dilaporkan kini kesulitan mendapat pekerjaan. Padahal, kebanyakan dari mereka merupakan lulusan universitas, yang tentunya menyandang gelar akademik, misalnya sarjana.
"Bubble mahasiswa akhirnya pecah. Ekspansi universitas pada akhir 1990-an menciptakan lulusan yang sangat besar," kata Yao Lu, profesor sosiologi di Universitas Columbia di New York, sebagaimana dilansir CNBC International.
"Tetapi ada ketidaksejajaran antara supply dan demand tenaga kerja berketerampilan tinggi. Perekonomian tidak mampu mengimbanginya," tambahnya.
Beban diperkirakan akan makin bertambah di musim panas ini. Pasalnya akan ada 11,8 juta mahasiswa baru yang lulus.
Hal ini dikarenakan industri seperti teknologi, pendidikan, real estate dan keuangan belum pulih setelah mendapat tindakan keras dari pemerintah melalui peraturan dan kebijakan pembatasan. Media China juga mengatakan banyak lulusan mengambil pekerjaan di bawah keterampilan mereka.
"Pendidikan China berpacu di depan ekonomi, yang berarti bahwa lebih banyak ijazah yang dibagikan daripada yang dibutuhkan oleh ekonomi berbasis manufaktur. Ada ketidakcocokan besar antara ekspektasi dan realitas keadaan ekonomi," ujar ekonom Keyu Jin.
"Mencari pekerjaan sangat sulit, saya memberitahu keluarga bahwa saya bersedia bekerja sebagai buruh manual (manual labor)," ujar seorang lulusan matematika terapan di China, dilansir Reuters.
PMI Jeblos
Aktivitas manufaktur China juga mengalami penurunan. Indeks Purchasing Manager (PMI) Mei 2023, turun 48,8 dari April yang dikisaran 49,2.
Hal ini diungkap Biro Statistik Nasional China (NBS). Angka di bawah 50 berarti kontraksi atau menurunnya aktivitas usaha sementara semakin jauh ke bawah, penurunan aktivitas usaha tentunya semakin dalam.
"Perekonomian China masih perlu mengonsolidasi basisnya selama masa pemulihan," kata ahli NBS Zhao Qinghe dimyat Xinhua.
"Di antara 21 subsektor yang disurvei, 11 masih berada di zona pertumbuhan," tambahnya.
Utang Kota "Meledak"
Beberapa kota di China kini dilaporkan bermasalah dengan utang. Jumlah utang menembus US$ 15,3 triliun atau Rp229.500 triliun.
Wuhan, kota di Provinsi Hebei tempat pertama kali Covid-19 merebak misalnya, secara terbuka menyebutkan nama ratusan debitur dalam sebuah artikel surat kabar lokal. Biro keuangan lokal Wuhan mencetak daftar 259 entitas yang berutang lebih dari 300 juta yuan.
Otoritas itu bahkan agar perusahaan-perusahaan itu melunasi kewajibannya sesegera mungkin. Mengutip CNN International, debitur atau penjamin termasuk perusahaan negara atau swasta, departemen pemerintah dan lembaga think tank.
"Menawarkan hadiah kepada siapa pun yang dapat memberikan informasi berguna tentang aset keuangan debitur," muat pemerintah di media lokal.
"Debitur ini termasuk perusahaan seperti Dongfeng Wuhan Light Vehicle dan raksasa makanan asal Taiwan, Uni-President Enterprises," tulis CNN International lagi.
Pengumuman penagihan utang Wuhan datang hanya beberapa hari setelah lengan pembiayaan resmi Kunming, ibu kota provinsi Yunnan, berjuang untuk mengumpulkan cukup uang untuk membayar utang mereka kepada pemegang obligasi. Yunnan adalah salah satu provinsi yang paling banyak berutang di Negeri Tirai Bambu, dengan rasio utang terhadap pendapatan fiskal mencapai lebih dari 1.000% tahun lalu.
Selain Wuhan dan Kunming, Guizhou, salah satu provinsi termiskin di China, secara terbuka mengakui kegagalan mengatur keuangannya. Bahkan, meminta bantuan Beijing untuk menghindari gagal bayar.
(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ada Apa Xi Jinping? China Tak Baik-Baik Saja, Ini Buktinya