Gegara 'Kiamat', Sri Mulyani Sebut Negara Maju Saling Serang!

Arrijal Rachman, CNBC Indonesia
Selasa, 06/06/2023 11:25 WIB
Foto: Infografis/Lebih Ngeri Dari Covid & Perang,, Sri Mulyani Bawa Kabar Buruk/Aristya Rahadian

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan tensi saling serang dengan instrumen kebijakan ekonomi maupun fiskal kini terjadi di antara negara-negara maju, membuat prospek perekonomian global tak semakin baik pasca Pandemi Covid-19.

Ia berpendapat, persaingan ekonomi di antar negara maju ini terjadi dalam balutan mitigasi perubahan iklim, Amerika Serikat memanfaatkan kebijakan Inflation Reduction Act (IRA) dan Uni Eropa dengan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM).


"Negara-negara yang berkekuatan besar aktif menggunakan instrumen fiskalnya untuk melakukan daya tarik investasi dan menahan kemajuan negara lain," kata dia saat rapat kerja dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR, Jakarta, seperti dikutip Selasa (6/6/2023).

Melalui kebijakan Inflation Reduction Act, Sri Mulyani mengatakan, pemerintah Amerika Serikat telah memberikan subsidi secara besar-besaran untuk industri yang berhubungan dengan perubahan iklim termasuk energi, kendaraan listrik, dan baterainya.

Lalu, Uni Eropa merespons kebijakan itu dengan membalas melalui kebijakan Carbon Border Adjustment Mechanisms, yakni seluruh produk yang dianggap meningkatkan emisi karbon mendapatkan tarif bea masuk ke Eropa yang amat tinggi.

"Ini akan menentukan bagaimana sustainabilitas dan arah ekspor Indonesia. Dua hal lain yang harus kita pertimbangkan juga perubahan iklim yang ini menjadi alasan untuk menggunakan instrumen fiskal di berbagai negara," ucap Sri Mulyani.

Foto: Paparan kelompok ekonomi makro. (Dok. Kemenkeu)
Paparan kelompok ekonomi makro. (Dok. Kemenkeu)

Tensi geopolitik yang terus meruncing ini membuat pemerintah mengambil sikap hati-hati dalam menentukan kerangka ekonomi 2024. Pertumbuhan ekonomi pun hanya ditarget di kisaran level 5,3% sampai dengan 5,7% pada akhir masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Tekanan geopolitik ini kata dia semakin membuat dunia tidak menentukan karena seperti politik yang sulit ditebak ujungnya. Tergambar dari konflik Rusia dan Ukraina yang tak kunjung berakhir hingga perang perdagangan sejak 2017 yang malah makin menyebabkan fragmentasi dan deglobalisasi saat ini.

"Sama seperti di mana saja, politik unpredictable dampaknya menjadi shock yang tidak bisa tercipta patternya, kalau ekonomi kan bisa kita lihat bisnis cyclenya, yaitu boom and bust," ujar Sri Mulyani.

Instrumen-instrumen yang biasanya digunakan dalam konteks ekonomi seperti fiskal hingga ekspor dan impor pun sudah semakin dimanfaatkan oleh negara-negara dunia untuk menekan negara lain yang dianggap bukan sekutunya, seperti kebijakan AS dan Uni Eropa tadi.

"Jadi perubahan iklim menjadi salah satu alasan untuk menggunakan instrumen fiskal di berbagai negara dalam memerangi perubahan iklim sekaligus tensi geopolitik," ucap Sri Mulyani.

Maka, muncul istilah re-shoring yang makin membatasi hubungan perdagangan antar negara, demikian juga friendshoring, decouping, hingga chip war. Selain itu juga ada tren dedolarisasi untuk mengalihkan penggunaan dolar.

"Kalau perang secara militer dan ekonomi sudah terjadi menyangkut komoditas yang menentukan perekonomian dunia, yaitu chip atau yang menopang digital technology," ucap Sri Mulyani.


(mij/mij)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Xi Jinping Dan Putin Desak Israel dan Iran Akhiri Konflik