Internasional

Keras! Negara Ini Bisa Hukum Mati Pelaku LGBT, Dunia Bereaksi

Thea Fathanah Arbar, CNBC Indonesia
30 May 2023 14:05
Ugandan President Yoweri Museveni speaks during a press conference after a meeting with South African President Cyril Ramaphosa (not seen) at the Union Buildings in Pretoria on February 28, 2023. (Photo by GUILLEM SARTORIO / AFP)
Foto: Presiden Uganda Yoweri Museveni. (AFP/GUILLEM SARTORIO)

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Uganda Yoweri Museveni resmi menandatangani salah satu undang-undang anti-LGBT (Lesbian, Gay, Bisexualand Transgender) terberat di dunia. UU ini bahkan memiliki hukuman mati untuk homoseksualitas.

Hubungan sesama jenis sendiri sudah ilegal di Uganda, sama seperti di lebih dari 30 negara Afrika. Namun, baru negara ini yang memiliki undang-undang baru terkait LGBT yang memiliki hukuman terberat.

UU ini menetapkan hukuman mati bagi "pelanggar berantai" melawan hukum dan penularan penyakit mematikan seperti HIV/AIDS melalui seks sesama. UU tersebut juga memutuskan hukuman 20 tahun bagi yang "mempromosikan" homoseksualitas.

"Presiden Uganda hari ini telah melegalkan homofobia dan transfobia yang disponsori negara," kata Clare Byarugaba, seorang aktivis HAM Uganda, mengutip Reuters.

Foto kepresidenan Museveni menunjukkan dirinya menandatangani undang-undang dengan pena emas di mejanya. Pria berusia 78 tahun itu menyebut homoseksualitas sebagai penyimpangan dari normal dan mendesak anggota parlemen untuk melawan tekanan imperialis.

Museveni telah mengirimkan RUU asli yang disahkan pada Maret lalu, meminta parlemen untuk mengurangi beberapa ketentuan. Tetapi persetujuan utamanya tidak diragukan di negara konservatif, di mana sikap anti-LGBT telah mengeras dalam beberapa tahun terakhir, sebagian karena kampanye oleh kelompok gereja evangelis Barat.

Langkah ini juga langsung menarik kecaman dari Barat. Uganda, yang menerima miliaran dolar bantuan asing setiap tahun, juga dapat menghadapi tindakan merugikan dari donor dan investor, seperti yang terjadi dengan RUU serupa sembilan tahun lalu.

Reaksi AS

Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden menyebut langkah itu sebagai pelanggaran tragis hak asasi manusia. Ia mengatakan Washington akan mengevaluasi implikasi undang-undang tersebut pada semua aspek keterlibatan AS dengan Uganda.

"Kami sedang mempertimbangkan langkah-langkah tambahan, termasuk penerapan sanksi dan pembatasan masuk ke Amerika Serikat terhadap siapa pun yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia atau korupsi yang serius," katanya.

Sebuah organisasi lokal, Forum Kesadaran dan Promosi Hak Asasi Manusia, dan 10 orang lainnya kemudian mengajukan gugatan terhadap undang-undang tersebut ke mahkamah konstitusi, kata salah satu pemohon, Busingye Kabumba, kepada Reuters.

Sponsor RUU itu, Asuman Basalirwa, mengatakan kepada wartawan bahwa visa AS ketua parlemen Anita Among dibatalkan setelah UU itu ditandatangani. Namun kedutaan AS di Uganda tidak segera menanggapi permintaan komentar terkait hal ini.

Dalam pernyataan bersama, program unggulan HIV/AIDS AS PEPFAR, Dana Global untuk Memerangi AIDS, Tuberkulosis, dan Malaria, dan Program Gabungan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk HIV/AIDS (UNAIDS) mengatakan UU itu menempatkan perjuangan anti-HIV di Uganda dalam bahaya besar.

Dominic Arnall, kepala eksekutif Open For Business, sebuah koalisi perusahaan yang mencakup Google dan Microsoft, mengatakan grup tersebut sangat kecewa dan UU tersebut bertentangan dengan kepentingan ekonomi Uganda.

Badan hak asasi manusia PBB juga menyatakan terkejut atas peresmian UU tersebut.

UU Serupa

LGBTQ Uganda menyebut perubahan itu tidak berguna, mengatakan penegakan hukum secara teratur melebihi otoritas hukumnya untuk melecehkan mereka. Mereka mengatakan pengesahan RUU pada Maret memicu gelombang penangkapan, penggusuran, dan serangan massa.

Masalah ini sudah berlangsung lama di Uganda. UU anti-LGBTQ tahun 2014 yang tidak terlalu ketat dibatalkan oleh pengadilan Uganda atas dasar prosedural.

Ini terjadi setelah pemerintah Barat pada awalnya menangguhkan beberapa bantuan, memberlakukan pembatasan visa, dan membatasi kerja sama keamanan.

Pada tahun 2009, RUU ini dijuluki "bunuh kaum gay" karena pada awalnya mengusulkan eksekusi homoseksual setelah konferensi di Kampala menarik perwakilan dari AS termasuk evangelis anti-gay terkemuka Scott Lively.

Selain kampanye agama, sikap anti-LGBTQ di Afrika juga berakar pada era kolonial, termasuk pasal anti-sodomi dalam hukum pidana Inggris. Pada saat Inggris melegalkan tindakan sesama jenis pada tahun 1967, banyak bekas koloni yang merdeka dan tidak mewarisi perubahan hukum tersebut.


(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Paus Fransiskus: Menjadi Homoseksual Bukan Kejahatan

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular