
Jokowi Benar! Ramalan Horor Itu Kini Jadi Kenyataan

Jakarta, CNBC Indonesia - Pada akhir 2022, banyak pihak meramalkan situasi dunia pada tahun ini gelap karena hantaman badai besar atau perfect storm. Kini satu persatu ramalan itu menjadi kenyataan.
Ramalan itu memang bukan datang dari sembarang orang. Mulai dari pimpinan negara maju dan berpengaruh di dunia, lembaga internasional hingga Presiden Joko Widodo (Jokowi) turut menyuarakan hal tersebut.
Dasarnya adalah pandemi covid-19 menimbulkan luka memar atau scarring effect bagi dunia, banyak negara berada dalam situasi parah. Salah satunya fiskal. Pengelolaan yang tidak baik membuat beberapa negara terjerat krisis utang.
Di sisi lain ada persoalan geopolitik yang semakin memanas. Perang Rusia dan Ukraina yang sudah berlangsung sejak tahun lalu, hingga saat ini belum ada kepastian damai. Situasi ini telah menciptakan krisis komoditas, meningkatkan harga energi dan pangan, serta mendorong kenaikan inflasi yang tinggi, terutama di Amerika Serikat dan Eropa.
Kini beberapa dari yang dikhawatirkan tersebut terjadi. Beberapa negara alami pelemahan ekonomi hingga jatuh ke jurang resesi. AS tumbuh 1,6%, Korea Selatan 0,8%, Eropa dan Jepang 1,3%.
Adapun China 4,5% pada kuartal I. Sementara itu, Meksiko tumbuh 3,89%. Rusia masih bertahan di jurang resesi dengan -1,9%. Terbaru Jerman yang harus merasakan resesi dengan -0,3%.
"Saya ingin mengatakan bahwa dunia tidak dalam situasi yang baik-baik saja," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat Upacara Peringatan Hari Kebangkitan Nasional ke-115 di kantornya, Jakarta, dikutip Senin (29/5/2023)
Selain krisis pangan dan energi, krisis keuangan telah melanda berbagai negara. Bahkan AS dan Eropa mengalami krisis perbankan. Sri Mulyani meminta semua pihak, khususnya jajarannya agar tetap meningkatkan kewaspadaan akan rambatan yang dimungkinkan muncul mempengaruhi perekonomian nasional.
AS Menuju Kebangkrutan, RI Harap Waspada
Amerika Serikat (AS) kini menuju kebangkrutan atau gagal bayar (default). Pasalnya, sisa beberapa hari lagi, belum ada keputusan batas utang pemerintah AS akan naik atau tidak.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dalam konferensi pers, Kamis (25/5/2023) menjelaskan, yang menjadi perhatian pasar saat ini adalah poin negosiasi yang akan disepakati. Apabila permintaan pemerintahan Presiden AS Joe Biden dipenuhi, maka bisa mendorong kenaikan US Treasury.
Yield Treasury tenor 2 tahun misalnya, pada perdagangan Kamis (26/5/2023), mengalami kenaikan 16,7 basis poin menjadi 4,51%. Level tersebut menjadi yang tertinggi sejak 10 Maret lalu. Dalam tiga pekan, kenaikannya mencapai 58,8 basis poin.
Kemudian tenor 10 tahun, kemarin tercatat naik 9,6 basis poin ke 3,815%, dalam 3 pekan sudah melesat 36,9 basis poin.
"Kalau debt ceiling-nya tinggi, tentu jumlah utangnya tinggi dan UST akan tinggi. Kemungkinan akan mempengaruhi bagaimana respons dari the Fed. Kalau debt ceiling tinggi, growth akan tinggi, inflasi tinggi," paparnya.
Beda cerita kalau misalkan belanja pemerintah yang dipangkas. Menurut Perry, situasi tersebut akan mendorong suku bunga acuan AS lebih rendah dari posisi sekarang 5-5,25%.
"Kalau spending cut berarti jumlah utang rendah dan yield treshold tak akan setinggi itu dan FFR bisa saja tidak hanya hold tapi akan turun," terang Perry.
Maka dari itu disebutkan ketidakpastian global kini kembali tinggi. "Yang dihadapi sekarang UST kuat, dolar kuat, mata uang kena tekanan," pungkasnya.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu Suminto mengungkapkan akan terus mewaspadai kebijakan politik di AS. Sampai saat ini, kata dia belum ada dampak signifikan ke pasar keuangan global termasuk pasar keuangan Indonesia.
"Kita belum lihat dampak signifikan ke pasar keuangan global, termasuk spill over ke pasar SBN kita, pasar SBN kita masih sangat baik dan supportive yang menandakan belum dilihatnya dampak debt ceiling di US ini," jelas Suminto pada kesempatan berbeda.
(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Harap Tenang! Sri Mulyani Bawa Kabar Baik Soal Amerika
