
Sempat Diramal Jokowi, Begini Horornya Dunia Kini!

Jakarta, CNBC Indonesia - International Monetary Fund (IMF), memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia pada 2023 akan suram, pekat, dan akan mengalami resesi dunia. Hal ini juga yang turut diyakini Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Presiden Jokowi dalam berbagai pidatonya, kerap menyebutkan ekonomi 2023 akan suram, seperti yang sudah diramalkan oleh berbagai lembaga internasional. Tak lepas karena adanya dampak dari pandemi Covid-19 yang menimbulkan luka memar atau scaring effect bagi dunia.
Di saat persoalan pandemi Covid-19 belum usai, kemudian ada persoalan geopolitik, antara Rusia dan Ukraina yang semakin memanas, yang saat ini juga belum menemukan titik terang.
Ramalan Jokowi berdasarkan ramalan IMF itu pun kini mulai menjadi kenyataan di beberapa negara maju. Pada kuartal I-2023 pertumbuhan ekonomi AS tumbuh 1,6%, Korea Selatan 0,8%, Eropa dan Jepang 1,3%.
Adapun China 4,5% pada kuartal I. Sementara itu, Meksiko tumbuh 3,89%. Rusia masih bertahan di jurang resesi dengan -1,9%. Terbaru Jerman yang harus merasakan resesi dengan -0,3%.
Sementara di Indonesia, pada kuartal I-2023 ekonominya berhasil tumbuh 5,03% atau lebih tinggi dari perekonomian banyak negara-negara G20. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut ekonomi Indonesia menjadi salah satu brightspot di negara ASEAN.
Kendati demikian, kata Sri Mulyani dunia saat ini sedang dalam situasi yang tidak baik-baik saja. Hal itu disampaikan oleh Sri Mulyani dalam Upacara Peringatan Hari Kebangkitan Nasional ke-115 di kantornya, Jakarta.
"Meski pandemi mulai mereda, namun ekonomi global masih menghadapi banyak tantangan dalam upaya untuk pulih sepenuhnya. Saya ingin mengatakan bahwa dunia tidak dalam situasi yang baik-baik saja," jelas Sri Mulyani, dikutip Senin (29/5/2023).
Sri Mulyani bilang, saat ini dunia masih merasakan scarring effect akibat pandemi ditambah tensi geopolitik yang meningkat. Situasi ini telah menciptakan krisis komoditas, meningkatkan harga energi dan pangan, serta mendorong kenaikan inflasi yang tinggi, terutama di Amerika Serikat dan Eropa.
Ditambah saat ini krisis keuangan telah melanda berbagai negara, seperti di AS dan Eropa yang mengalami krisis perbankan. Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) pun turut mencermati risiko yang dimungkinkan muncul ke depan.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dalam konferensi pers, Kamis (25/5/2023) menjelaskan, yang menjadi perhatian pasar saat ini adalah poin negosiasi yang akan disepakati. Apabila permintaan pemerintahan Presiden AS Joe Biden dipenuhi, maka bisa mendorong kenaikan US Treasury.
Yield Treasury tenor 2 tahun misalnya, pada perdagangan Kamis (26/5/2023), mengalami kenaikan 16,7 basis poin menjadi 4,51%. Level tersebut menjadi yang tertinggi sejak 10 Maret lalu. Dalam tiga pekan, kenaikannya mencapai 58,8 basis poin.
Kemudian tenor 10 tahun, kemarin tercatat naik 9,6 basis poin ke 3,815%, dalam 3 pekan sudah melesat 36,9 basis poin.
"Kalau debt ceiling-nya tinggi, tentu jumlah utangnya tinggi dan UST akan tinggi. Kemungkinan akan mempengaruhi bagaimana respons dari the Fed. Kalau debt ceiling tinggi, growth akan tinggi, inflasi tinggi," paparnya.
(cap/cap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Harap Tenang! Sri Mulyani Bawa Kabar Baik Soal Amerika
