China Hancur Pak Jokowi Jangan Cemas, Negara Ini Gantinya!

Widya Finola Ifani Putri & Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
Senin, 15/05/2023 09:55 WIB
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Luthfi Rahman

Jakarta, CNBC Indonesia - Dibukanya kembali aktivitas ekonomi China pasca 3 tahun lockdown, tak serta merta membawa ekonomi Negeri Tirai Bambu ini ikut terkerek.

Kepala Ekonom BCA David Sumual menjelaskan, perekonomian China 25% berasal dari permintaan domestik, sementara sisanya atau 75% berasal dari ekspor, terutama ekspor manufaktur.

Namun, sektor manufaktur di China saat ini tengah mengalami kontraksi. Ini menjadi lampu kuning bagi ekonomi China sebab manufaktur berkontribusi 33% terhadap pertumbuhan ekonomi China.


Purchasing managers' index (PMI) manufaktur China pada April tercatat sebesar 49,2, turun dari bulan sebelumnya 51,9 dan berada di level terendah sejak Desember 2022.

Hal yang terjadi di China saat ini, kata David adalah, bahwa negara Tirai Bambu itu tengah melakukan 'cuci gudang' alias dumping sebagai langkah China untuk memulai kembali aktivitas ekonomi mereka di awal tahun 2023.

"Untuk berbagai sektor seperti chemical, sparepart, itu memang mereka dumping ke banyak negara. Itu yang menyebabkan tingkat harga turun. Kontribusi inflasi global (yang menurun) salah satunya dari cuci gudang oleh China," jelas David kepada CNBC Indonesia, Jumat (12/5/2023).

Adapun jalur transmisi atau dampak perekonomian China ke Indonesia melalui jalur perdagangan. Namun, tak akan berdampak signifikan terhadap neraca perdagangan Indonesia. Sebab, transaksi perdagangan Indonesia dan China masih defisit.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang tahun 2022 China termasuk salah satu negara yang menyumbang defisit neraca perdagangan Indonesia terbesar setelah Australia dan Thailand.

Indonesia mencatatkan defisit dengan China sebesar US$3,61 miliar, terbesar pada komoditas mesin-mesin/pesawat mekanik, mesin/peralatan listrik, serta plastik dan barang dari plastik.

Justru dumping yang dilakukan China ini, kata David bisa membawa keberkahan tersendiri untuk Indonesia, karena biasanya barang setengah jadi yang dibutuhkan, bisa dibeli dengan harga murah.

"Untuk pertumbuhan ongkosnya lebih murah, kalau mau borong komoditas relatif murah karena harganya mengalami penyesuaian. Seperti harga bahan bangunan, sparepart, hingga chemical," jelas David.

Senada juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif Indef Ahmad Tauhid, yang mengatakan bahwa perlambatan manufaktur di China belum akan signifikan berpengaruh terhadap neraca perdagangan Indonesia.

"Efek ke kita masih relatif kecil, karena ekonomi mulai bergerak, industri bergerak, dan pengaruhnya belum terasa," jelas Tauhid saat dihubungi CNBC Indonesia.

Kendati demikian, menurut Tauhid Indonesia tidak akan bisa lepas terikat dengan China, karena banyak investasi-investasi yang masuk ke Indonesia berasal dari China, ditambah China merupakan salah satu kreditur atau pemberi utang terbesar untuk hampir seluruh negara di dunia.

Namun dari sisi perdagangan, seharusnya Indonesia bisa untuk mencari pangsa pasar baru di luar China, dan pasar yang bisa menggantikan China menurut Tauhid adalah India.

"India punya peluang, karena market besar, ekonomi stabil di atas 6%, konsumsinya besar dan tren importasi dengan kita lumayan. Marketnya sama, growth ekonominya bagus," ujarnya.

Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal juga mengungkapkan, meskipun saat ini Indonesia tidak begitu tergantung dengan China, Indonesia masih bisa mengejar pasar-pasar potensial yang selama ini belum dimanfaatkan. Seperti di Afrika Selatan dan Amerika Latin.

Di Afrika Selatan seperti di Senegal, Pantai Gading, Nigeria, dan beberapa pasar tradisional lainnya. Di Amerika Latin ada Brazil, Peru, Argentina. Juga menurut Fithra yang bisa dicoba untuk memasuki pasar oleh Indonesia, adalah India.

"Kita tidak sangat tergantung dengan China. Tapi kita harus mengejar pasar-pasar potensial yang belum kita manfaatkan selama ini," jelas Fithra.


(cap/cap)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Harga Beras Naik Bikin Inflasi Juli 2025 Tembus 2,37% (yoy)