25 Tahun Krisis: Fakta Etnis Tionghoa Jadi Bancakan

Tommy Patrio Sorongan, CNBC Indonesia
14 May 2023 21:00
Warga keturunan Tionghoa melaksankan sembahyang di Vihara Amurva Bhumi, kawasan Karet Semanggi, Jakarta, Jumat (24/1/2020). Ibadah tersebut dalam rangka Tahun Baru Imlek 2571/2020. 


Tahun Baru Imlek selalu menjadi ajang perayaan terbesar bagi etnis Tionghoa, tidak hanya di negara asalnya tapi juga di seluruh dunia salah satunya di Indonesia.



Tahun Baru Imlek merupakan perayaan terpenting bagi orang Tionghoa. Perayaan tahun baru imlek dimulai pada hari pertama bulan pertama di penanggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh pada hari ke-15.


Perayaan Imlek ini meliputi sembahyang Imlek, sembahyang kepada Thian dan yang terakhir dilakukan adalah perayaan Cap Go Meh. Tujuan dilakukannya sembahyang tersebut, sebagai rasa terima kasih atau rasa syukur untuk menyambut Tahun Baru.


Salah satu ciri khas dalam setiap perayaan Imlek adalah serba warna merah. Dalam budaya China, warna merah diidentikkan sebagai simbol kebahagiaan, kesehatan dan kemakmuran. 

Warna merah juga dipercaya dapat menangkal roh jahat dan mendatangkan keberuntungan.



Warna merah juga dipercaya dapat mengusir Nian atau sejenis makhluk buas yang hidup di dasar laut atau gunung yang keluar saat musim semi atau saat tahun baru Imlek.



Perayaan Imlek diyakini amat penting untuk memperoleh keberuntungan di tahun mendatang.


Tahun Baru Imlek sekaligus menandai dimulainya shio baru. Imlek tahun ini adalah shio tikus logam.



Warna merah dalam pakaian yang dikenakan adalah warna keberuntungan orang China. Warna itu dipercaya menakuti roh-roh dan nasib buruk.




Di Vihara Amurva Bhumi juga menampilkan atraksi Barongsai. Pagelaran Barongsai selalu ada setiap perayaan Imlek. 


Menurut kepercayaan orang China kuno, tarian barongsai menjadi cara untuk mengusir setan dan roh jahat. 




angpau juga dipercaya makin memperlancar rezeki di kemudian hari. Membagikan angpau pada saat Imlek berkaitan dengan transfer energi dan kesejahteraan yang juga dipercaya memperlancar rezeki di kemudian hari. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto).
Foto: Warga keturunan Tionghoa melaksankan sembahyang di Vihara Amurva Bhumi, Jl. Prof. DR. Satrio, Karet Semanggi, Jakarta, Jumat (24/1/2020) malam. Ibadah tersebut dalam rangka Tahun Baru Imlek 2571/2020 (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto).

Jakarta, CNBC Indonesia - Krisis moneter pada tahun 1997-1998 telah membawa Indonesia menuju masa reformasi. Kegelisahan ekonomi menjadi motor dari demonstrasi warga yang berakhir pada tumbangnya Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto.

Dalam pewartaan Kompas (14 Mei 1998), kerusuhan bermula di Grogol, sekitar Trisakti dan Mall Ciputra. Rakyat yang terprovokasi melempari aparat dengan batu dan merusak semua yang dilihatnya. Mobil yang terparkir di Mall Ciputra hangus terbakar.

Situasi di dalam Mall Ciputra tidak karuan. Asap hitam tebal membumbung tinggi, seluruh barangnya ludes dibakar, sebagian dijarah. Pertokoan dan pabrik di Jl. Daan Mogot juga bernasib sama. Begitu juga bangunan di kawasan Roxy dan SCBD Sudirman.

Tidak terhitung berapa kerugian materiil dan korban jiwa di hari itu. Yang pasti hari-hari setelahnya situasi semakin tidak karuan. Penjarahan dan kebakaran ada dimana-mana.

Penasehat militer presiden Soeharto Letjen TNI Sintong Panjaitan dalam Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (2009) mencatat ada 4.939 bangunan rusak dibakar yang kerugiannya mencapai Rp 2,5 triliun. Ini belum menghitung ribuan mobil dan motor yang dirusak dan dibakar, serta korban jiwa, baik itu terluka, meninggal atau mengalami kekerasan seksual.

Kerusuhan yang terjadi kala itu memiliki pola serupa: menyasar pusat perdagangan yang dimiliki etnis Tionghoa. Ini terjadi di beberapa kawasan yang kental dengan etnis Tionghoa, seperti Glodok, Roxy, Pluit, Senen, dan Mangga Besar.

Lalu, mengapa Tionghoa menjadi target amukan massa dan kerusuhan berubah jadi sentimen rasial?

Jemma Purdey dalam Kekerasan Anti-Tionghoa di Indonesia 1996-1999 (2013) menjelaskan hal ini terjadi karena ada stereotip terhadap mereka bahwa orang Tionghoa patut dibenci karena mereka kaya raya, dan dekat dengan penguasa.

Stereotip ini terjadi karena mereka banyak berurusan di sektor bisnis, sehingga kekayaannya pun meningkat. Sementara stereotip kedekatan dengan penguasa disebabkan karena saat itu Soeharto sangat dekat dengan taipan Sudono Salim alias Liem Sioe Liong.

Kedua aspek ini kemudian membentuk pandangan masyarakat bahwa etnis Tionghoa sudah pasti kaya raya dan dekat dengan penguasa. Maka, masyarakat pun menjadikan seluruh etnis Tionghoa sebagai sasaran.

Tokoh besar seperti Sudono Salim adalah target utama masyarakat saat itu. Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam Liem Sioe Liong dan Salim Group (2016) menyebut, Sudono Salim saat itu adalah orang terkaya di Indonesia.

Kedekatannya dengan presiden membuat bisnisnya lancar, sehingga menimbulkan kebencian. Rumahnya di kawasan Pluit dan Roxy dibakar massa. Bisnisnya, terutama BCA (Bank swasta terbesar kala itu), hancur.

Sayang, ada pula yang salah sasaran. Ini dialami oleh Mei (bukan nama sebenarnya) yang rumahnya dihancurkan oleh massa hanya karena dia penduduk Tionghoa (Kompas, 21 Mei 1998). Namun, Mei cukup beruntung karena dia tidak mengalami kekerasan, seperti mayoritas perempuan Tionghoa saat itu.

Agar lebih aman sampai mereka harus menuliskan tulisan "Saya Pribumi" di depan toko atau rumahnya supaya tidak dirusak. Peristiwa ini kemudian menjadi pukulan telak bagi pemerintahan Soeharto. Hingga akhirnya dia pun lengser pada 21 Mei 1998.


(mfa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kerusuhan Mei 1998: Cerita Prabowo Jadi Tukang Pijat Gus Dur

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular