Terusir dari China, Sampai Indonesia Jadi Raja Gula Asia

Entrepreneur - MFakhriansyah, CNBC Indonesia
12 February 2023 06:00
Pengiriman gula Foto: Detik.com

Jakarta, CNBC Indonesia - Kebijakan liberalisasi ekonomi 1870 oleh pemerintah kolonial Belanda mendorong munculnya perkebunan swasta. Hal ini jadi berkah bagi keluarga Oei Tiong Ham. Sebab, munculnya perkebunan baru membuat bisnis ayahnya, pabrik Kian Gwan, yang bergerak di perdagangan gula dan tembakau semakin moncer. Hasil keuntungan ini kemudian dialihkan untuk pendirian pabrik gula secara mandiri oleh Sang Ayah, Oei Tjien Sien. Ini jadi titik balik kehidupannya usai kabur dari China pasca pemberontakan Taiping (1850-1864 M)

Oei Tiong Ham yang mulai beranjak dewasa dipercaya ayahnya untuk mengelola Kian Gwan tepat di usia 19 tahun atau tahun 1885. Dari sinilah, Oei Tiong Ham mengembangkan sayap di bidang bisnis. Dalam buku Semarang Sebagai Simpul Ekonomi (2022) disebutkan kalau bisnis pertama Kian Gwan di bawah kendali Oei Tiong Ham berada di sektor properti.

"Para konglomerat Tionghoa menganggap investasi ini sangat aman dan menguntungkan," tulis penyusun buku Semarang Sebagai Simpul Ekonomi (2022).

Perlahan, fokus bisnisnya berubah menjadi gula. Perubahan ini yang membawa Oei Tiong Ham ke puncak kesuksesan. Sejak akhir 1880-an, Oei Tiong Ham memperoleh keuntungan besar dengan cara memonopoli pasar gula di Jawa. Akumulasi cuan dialokasikan untuk membuka perkebunan tebu baru serta mendirikan pabrik gula dan opium.

Keberhasilan ini membuat Oei Tiong Ham mendirikan konglomerasi sendiri bernama Oei Tiong Ham Concern (OTHC) pada 1893. Kelak, Kian Gwan difungsikan menjadi anak perusahaan OTHC.

Fokus utama OTHC adalah perdagangan gula, meskipun bermain juga di bisnis teh, karet, dan tembakau. Untuk mensiasati aturan diskriminatif yang dibuat pemerintah kolonial, Oei Tiong Ham punya strategi tersendiri, yakni modernisasi.

Langkah pertamanya merombak struktur manajemen. Menurut Yoshihara Kunio dalam Konglomerat Oei Tiong Ham (1992), dia meneruskan cara ayahnya berupa peniadaan sistem pengelolaan perusahaan secara keluarga. Jika lazimnya orang Tionghoa mengharuskan keluarganya mengelola perusahaan, maka dia tidak.

Baginya, sistem seperti itu bisa jadi malapetaka karena tidak semua anggota keluarga pandai berbisnis. Maka, pengelola perusahaan harus memiliki kecakapan. Karena itulah, Oei Tiong Ham mempercayakan pengelolaan pada para ahli, baik dari orang Eropa, orang Belanda atau orang Cina. Dia tak segan mendatangkan langsung ahli dari negera asal untuk bekerja di OTHC.

"Karakter manajemen yang modern ini menjadi faktor berkembangnya perusahaan miik Oei Tiong Ham dalam situasi ekonomi kolonial," tulis Yoshihara Kunio

Langkah selanjutnya adalah peremajaan. Seluruh pabrik gula OTHC adalah yang pertama menerapkan elektrifikasi di Hindia Belanda. Selain itu, dia juga terbuka dengan kerjasama perusahaan lain untuk mengembangkan gurita bisnisnya. Salah satunya dengan pengusaha tebu di Malang, Tio Tjin Tiong, dan konglomerat Singapura, Tjong A Fien dan Tjong Yong Hian.

Upaya ini terbukti berhasil. Pada 1910-1911, ketika terjadi krisis di Hindia, bisnis gula OTHC tidak terdampak. Justru, semakin moncer.

Dalam catatan Onghokham di buku Konglomerat Oei Tiong Ham (1992), pada tahun 1911-1912 OTHC berhasil mengeskpor gula sebanyak 200 ribu ton. Di waktu bersamaan, OTHC pun jadi mengalahkan perusahaan Barat lainnya di perdagangan gula. Pasar gula Hindia Belanda dikuasai oleh OTHC sebesar 60% atau 200 ribu ton. Keberhasilan ini jelas disebabkan oleh besarnya jaringan bisnis OTHC di dalam dan luar negeri.

Dompet Oei Tiong Ham tentu makin tebal. Pada 1925, kekayaan mencapai 200 juta gulden. Uang 1 gulden pada 1925 bisa membeli 20 kg beras. Jika harga beras Rp 10.850/kg, diperkirakan harta kekayaan Oie Tiong Ham itu kira-kira Rp 43,4 triliun.


[Gambas:Video CNBC]

(mfa/mfa)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Terpopuler
    spinner loading
Artikel Terkait
LAINNYA DI DETIKNETWORK
    spinner loading
Features
    spinner loading