Bukan AS, Ini Negara Paling Berbahaya untuk RI!

Hadijah Alaydrus & Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
12 May 2023 07:05
Seorang petugas polisi berjaga di dekat bendera Indonesia dan China di depan Gerbang Tiananmen, saat Presiden Indonesia Joko Widodo mengunjungi Beijing, China 25 Juli 2022. (REUTERS/CARLOS GARCIA RAWLINS)
Foto: Seorang petugas polisi berjaga di dekat bendera Indonesia dan China di depan Gerbang Tiananmen, saat Presiden Indonesia Joko Widodo mengunjungi Beijing, China 25 Juli 2022. (REUTERS/CARLOS GARCIA RAWLINS)

Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonomi China dibayangi perlambatan serius. Inflasi Negeri Tirai Bambu ini terus melandai dan berpotensi berbalik deflasi.

Data dari pemerintah China pagi ini menunjukkan inflasi pada April hanya tumbuh 0,1% year-on-year (yoy). jauh lebih rendah dari bulan sebelumnya 0,7%, juga lebih rendah dari prediksi Reuters 0,4%.

Sebagai catatan, inflasi tinggi bisa menggerus daya beli masyarakat. Namun, sebaliknya inflasi yang rendah bisa berarti daya beli masyarakat lemah atau masyarakat enggan berbelanja dan memilih saving.
Belanja lemah bagi negara dengan populasi terbesar di dunia sungguh bukan kabar yang baik. Inflasi rendah berarti ekonomi China berpotensi terpuruk, setelah terdampak keras oleh pandemi.

Di sisi lain, impor China mengalami kontraksi tajam pada bulan April, sementara ekspor naik dengan kecepatan yang lebih lambat.

Dengan demikian, lengkap indikator ekonomi China yang menunjukkan negara ini akan mengalami perlambatan.

Perlambatan juga bakal menambah tekanan pada ekonomi yang sudah kesulitan menghadapi pertumbuhan yang melambat.

Jelas kondisi ini merupakan sinyal buruk bagi Indonesia. Pasalnya, China merupakan negara mitra perdagangan Indonesia terbesar. Total perdagangan China dan Indonesia menembus US$ 133,65 miliar pada 2022 atau naik 17,70% dibandingkan 2021.

Ekspor Indonesia ke China mencapai US$ 65,92 miliar sementara impor dari Tiongkok mencapai US$ 67,72 miliar. Baik ekspor dan impor merupakan yang tertinggi dalam sejarah.

Pada Januari-Maret 2023, ekspor ke China bahkan tercatat US$ 16,58 miliar atau naik 26,7%. Sementara itu, impor tercatat US$ 15,34 miliar atau turun 3,6%.

Dengan demikian, sepanjang kuartal I-2023, Indonesia masih mencatatkan surplus sebesar US$ 1,24 miliar terhadap China.

Jika China melemah, maka Indonesia berpotensi mengalami tekanan di sisi neraca dagang. Bukan tidak mungkin, neraca perdagangan Indonesia yang selama 35 tahun surplus dapat berbalik defisit.

Mengingat tidak hanya China yang melambat, tetapi penurunan harga komoditas andalan Indonesia telah menghantui sejak awal tahun ini.

Kondisi China ini dapat berdampak buruk dibandingkan potensi gagal bayar di Amerika Serikat (AS).

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pernah mengungkapkan bahwa kontraksi 1% ekonomi China dapat menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,3%-0,6%.

"Apabila mereka melemah 1 persen, pengaruhnya ke Indonesia akan mengalami penurunan 0,3 sampai 0,6 persen," ungkap Sri Mulyani, dikutip Jumat (12/5/2023).

Dia juga mengingatkan bahwa perlambatan China akan mempengaruhi ekspor, impor dan pariwisata RI. Menurutnya, China menyumbang turis asing yang besar.

Sementara itu, ekonom senior yang juga mantan menteri keuangan di era Presiden SBY M. Chatib Basri mengatakan mengungkapkan kabar baik dari pembukaan kembali (reopening) China dari kebijakan nol Covid-19 atau Zero Covid Policy.

Namun, hal ini berisiko bagi Indonesia. Pasalnya, dalam jangka menengah panjang, pembukaan kembali China akan berimplikasi pada harga-harga komoditas yang menurun, termasuk harga komoditas energi. Penurunan harga-harga ini, kata Chatib Basri, akan berimplikasi langsung terhadap kinerja ekspor Tanah Air.

"Hal yang perlu diantisipasi Indonesia adalah penuruan harga komoditas dan energi akan berdampak pada komoditas ekspor Indonesia," ujarnya kepada CNBC Indonesia.

Namun, dia memastikan pelemahan kinerja ekspor Indonesia tidak akan membuat perekonomian Indonesia anjlok dalam hingga mengalami resesi. Sebab, Chatib Basri menekankan, porsi nilai ekspor terhadap total produk domestik bruto (PDB) Indonesia hanya 25%.

"Maka dampaknya akan sangat terbatas karena itu saya masih berpendapat bahwa probabilitas resesi terhadap Indonesia masih relatif kecil," tuturnya.

"Hal lain yang perlu diperhatikan adalah kenaikan bunga yang tentu akan berdampak pada balance sheet effect di Indonesia," kata Chatib Basri.


(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Chatib Basri Bawa Kabar Buruk dari Eropa, Berani Baca?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular