
Investor Tidak Perlu Khawatir, Indonesia Masih Prospektif

Jakarta, CNBC Indonesia - Situasi geopolitik, krisis energi, hingga ancaman perlambatan ekonomi menjadi kondisi yang harus diwaspadai Indonesia tahun ini. 'Awan gelap' disebut bakal menyelimuti perekonomian dunia, termasuk Indonesia.
Hal ini pun membuat Presiden Joko Widodo mengingatkan, agar tetap berhati-hati pada berbagai risiko tersebut dan menjaga ekonomi Indonesia tetap sehat.
Head of Markets and Securities Services HSBC Indonesia, Ali Setiawan mengatakan risiko geopolitik selalu ada dan sulit diprediksi. Bahkan risiko tersebut akan menimbulkan tantangan pada volatilitas pasar sepanjang tahun.
"Meski begitu, perekonomian Indonesia masih menjanjikan. Perekonomian Indonesia telah didorong oleh konsumsi domestik yang kuat, ekspor, dan belanja investasi. Ditambah lagi, Indonesia menikmati pertumbuhan ekspor yang kuat didukung oleh harga komoditas yang tinggi," jelas Ali Setiawan dalam keterangan resmi, Jumat (14/4/2023).
Meski masih tumbuh secara moderat, dia meyakini Indonesia masih jauh dari perlambatan ekonomi. HSBC Indonesia memproyeksikan Indonesia bisa tumbuh 4,3% tahun ini dan memiliki resiliensi yang kuat.
Apalagi, sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia dan eksportir batu bara terbesar kedua Indonesia memiliki keuntungan besar. Meski kini harga mulai melandai, komoditas masih memberikan manfaat besar untuk ekonomi tanah air, terutama dengan dorongan hilirisasi.
Hilirisasi yang digaungkan pemerintah Indonesia mampu menarik investasi besar dan menciptakan nilai tambah bagi industri manufaktur. Misalnya saja, untuk komoditas mineral seperti nikel yang kini menjadi 'primadona' karena menjadi komponen penting ekosistem kendaraan listrik.
Indonesia juga memiliki harta karun nikel yang melimpah dan akan memberikan keuntungan seiring dengan adanya tren kendaraan listrik.
"Pembukaan kembali China akan meningkatkan perekonomian Indonesia, terutama dengan harga komoditas yang lebih tinggi, pariwisata yang lebih kuat, dan lebih banyak investasi asing langsung," ujar Ali Setiawan.
Ali pun optimistis Indonesia tetap bertumbuh pesat dibandingkan negara ASEAN lainnya, meskipun ada berbagai tantangan jangka pendek. Selain aspek industri, dan ekonomi makro, pasar modal tanah air pun semakin menarik.
Dalam beberapa tahun terakhir, partisipasi investor ritel semakin meningkat sehingga menjadi salah satu daya tarik Indonesia. Dengan meningkatnya investor ritel di tanah air, maka pasar modal pun menjadi lebih luas dan inklusif.
Terutama dengan adanya dominasi dana asing di pasar modal Indonesia, peningkatan investor ritel pun bisa menjadi salah satu penguat terutama ketika terjadi capital outflow. Sehingga volatilitas berlebihan pada IHSG saat terjadi capital outflow pun dapat dihindari.
"Ketika pasar modal menjadi lebih berkembang dalam hal luas dan dalamnya penawaran, partisipasi ritel akan terus menjadi kuat," ungkap Ali Setiawan.
Sementara itu, Southeast Asia CIO HSBC Global Private Banking and Wealth James Cheo mengatakan dengan siklus yang terjadi dan masa suku bunga tinggi, obligasi bisa menjadi pilihan investasi yang tepat. Obligasi bisa menjadi pilihan terutama di negara berkembang seperti Indonesia.
Meski demikian, dia mengingatkan investor untuk tetap selektif dan disarankan melakukan diversifikasi investasi. Menurut James, pilihlah instrumen investasi berdasarkan profil risiko ketika membangun portofolio.
"Konsultasikan juga dengan bank atau Relationship Manager untuk informasi lebih lanjut. Jika tidak, beberapa reksa dana multi-aset dengan eksposur ke campuran kelas aset (termasuk saham dan obligasi) bisa menjadi pilihan. Instrumen-instrumen ini dikelola secara profesional dan alokasi asetnya akan disesuaikan untuk menanggapi situasi pasar yang berkembang," kata James.
Dia juga mengingatkan kondisi inflasi tinggi saat ini bisa mengikis nilai uang tunai dari waktu ke waktu. Untuk itu, menyimpan uang tunai bukanlah strategi yang baik untuk investor jangka panjang. Yang terpenting adalah investor mampu memahami profil risiko, menetapkan tujuan investasi, dan mulai berinvestasi sejak dini.
"Semakin lama periode investasi, semakin besar efek compounding pada portofolio. Mulai berinvestasi lebih cepat, daripada nanti, biasanya lebih penting daripada apakah berinvestasi pada titik rendah atau tinggi di pasar keuangan," tegas James.
Terakhir, tinjau portofolio secara teratur untuk memastikannya sejalan dengan tujuan. Jika investor tidak yakin untuk berinvestasi dengan jumlah besar secara langsung, maka bisa dilakukan investasi secara berkala dan rutin.
Dengan membeli lebih banyak saat harga efek lebih rendah, dan lebih sedikit saat harga efek lebih tinggi, dapat mengurangi dampak kerugian karena volatilitas jangka pendek pada portofolio investor.
Sebagai informasi tambahan, untuk mengetahui tren terkini dan market update secara berkala silakan kunjungi HSBC Indonesia.
(rah/rah)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Legenda Bulu Tangkis Ini Kasih Tips Kelola Cuan ke Atlet Muda
