
Soimah Didatangi 'Debt Collector' Pajak, Kemenkeu Buka Suara!

Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Keuangan buka suara terkait pengalaman pesohor Soimah Pancawati, yang mengaku pernah didatangi 'debt collector' pajak di Bantul, Yogyakarta.
Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menjelaskan, dirinya telah mengumpulkan berbagai fakta dari ingatan, dan catatan, juga administrasi di Kantor Pajak.
Yustinus memberikan tanggapan satu persatu soal keluh kesah Soimah yang memiliki pengalaman tidak mengenakan dengan oknum pegawai pajak. Mulai saat Soimah membeli rumah, membantu keluarganya yang harus disertakan bukti notanya, hingga pembangunan Pendopo Tulungo yang dibangunnya.
Yustinus, menjelaskan, berdasarkan cerita Soimah yang membeli rumah seharga Rp 430 juta, namun ditolak notaris. Karena berdasarkan harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar (nilai jual objek pajak/NJOP) oleh petugas pajak, nilai wajar rumah Soimah mencapai Rp 650 juta.
Terkait hal itu, Yustinus mengklaim, patut diduga penolakan itu bukan dari pegawai pajak, tapi petugas Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan pemerintah daerah setempat.
"Yang berurusan dengan balik nama dan pajak-pajak terkait BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan) yang merupakan domain Pemda. Kantor pelayanan pajak (KPP) biasanya hanya memvalidasi," jelas Yustinus kepada CNBC Indonesia, Sabtu (8/4/2023).
Jika pun ada kegiatan lapangan, kata Yustinus itu adalah kegiatan rutin untuk memastikan nilai yang dipakai telah sesuai dengan ketentuan, yaitu harga pasar yang mencerminkan keadaan yang sebenarnya.
Selanjutnya, Yustinus juga memberikan tanggapan terkait petugas pajak yang membawa 'debt collector' untuk melakukan pengukuran pendopo yang sedang dibangun Soimah.
Berdasarkan pengakuan Soimah, pengukuran pendopo oleh petugas pajak saat itu memakan waktu cukup lama, yakni pukul 10 pagi hingga pukul 5 sore. Berdasarkan penilaian petugas pajak saat itu, pendoponya ditaksir dengan nilai wajar Rp 50 miliar.
Menurut Yustinus itu, pengukuran pendopo yang dibangun Soimah itu adalah kegiatan normal yang didasarkan pada surat tugas dan jelas. Membangun rumah tanpa kontraktor dengan luas di atas 200 meter persegi, terutang PPN 2% dari total pengeluaran. Lagipula, nilai wajar yang ditetapkan pada akhirnya bukan Rp 50 miliar.
"Undang-undang mengatur ini justru untuk memenuhi rasa keadilan dengan konstruksi yang terutang PPN. Petugas pajak bahkan melibatkan penilai profesional agar tak semena-mena. Maka kerjanya pun detail dan lama, tak asal-asalan," jelas Yustinus.
"Hasilnya, nilai bangunan ditaksir Rp 4,7 M, bukan Rp 50 M seperti diklaim Soimah. Dalam laporannya sendiri Soimah menyatakan pendopo itu nilainya Rp 5 M," kata Yustinus lagi.
Dari fakta yang didapatkan Yustinus itu, bahkan rekomendasi pajak tersebut belum dilakukan tindak lanjut oleh petugas pajak. Artinya Soimah memiliki PPN terutang 2% dari Rp 4,7 miliar, yang sama sekali belum dibayar dan ditagihkan oleh KPP. "Memang belum ada tagihan kok. Jadi beliau juga belum tahu," tuturnya.
Soimah pun, kata Yustinus tidak pernah diperiksa kantor pajak dan tercatat tidak ada utang pajak. Kantor Pajak menurut undang-undang sudah punya debt collector, yaitu Juru Sita Pajak Negara (JSPN). Mereka bekerja dibekali surat tugas dan menjalankan perintah jelas; ada utang pajak yang tertunggak. Bagi JSPN, tak sulit menagih tunggakan pajak tanpa harus marah-marah. Yustinus bilang, JPSN bisa menerbitkan Surat Paksa, Surat Perintah Melakukan Penyitaan, memblokir rekening, lalu melelang aset atau memindahkan saldo rekening wajib pajak ke kas negara.
"Soimah sendiri tidak pernah diperiksa kantor pajak dan tercatat tak ada utang pajak, lalu buat apa didatangi sambil membawa debt collector? [...] Teman-teman di sana berusaha menjalankan tugas, yang setelah saya telisik, sesuai aturan dan kepatutan," ujarnya.
"Menurut teman di KPP, sejak 2015 itu mereka bahkan belum pernah berhasil bertatap muka dengan Soimah," jelas Yustinus lagi.
Terkahir, terkait cerita Soimah yang diminta segera lapor SPT Pajak baru-baru ini, menurut Yustinus, berdasarsarkan rekaman percakapan Soimah dengan petugas pajak via aplikasi percakapan WhatsApp, petugas pajak justru menawarkan bantuan kepada Soimah yang belum melapor SPT.
"Duh...saya malah kagum dengan kesabaran dan kesantunan pegawai KPP Bantul ini. Ia hanya mengingatkan bahkan menawarkan bantuan jika Soimah kesulitan. Ternyata itu dianggap memperlakukan seperti maling, bajingan, atau koruptor." jelas Yustinus.
Hingga saat ini pun, kata Yustinus, meskipun Soimah belum melaporkan SPT Pajak Tahunannya, KPP Bantul, Yogyakarta juga tak lantas memberikan teguran. "Hingga detik ini pun meski Soimah terlambat menyampaikan SPT, KPP tidak mengirimkan teguran resmi, melainkan persuasi." tuturnya.
Kendati demikian, Yustinus tak menampik, bisa saja ada oknum petugas yang bertindak tak pantas, dan tidak ada alasan untuk harus melakukan tindakan tidak menyenangkan seperti yang diterima Soimah.
Pun, Plt Kakanwil Pajak Jogja, Slamet Sutantyo, kata Yustinus tak segan meminta maaf jika benar ada pegawainya yang berbuat tidak sebagaimana mestinya.
"Undang-undang meletakkan hubungan setara antara petugas pajak dan wajib pajak sebagai pilar penting sistem perpajakan Indonesia," jelas Yustinus.
Kemudian terkait pengumpulan Nota. Soimah menjelaskan, saat awal-awal dirinya mencapai kesuksesan, dan uang yang berhasil dia kumpulkan lewat pekerjaannya dia gunakan untuk membantu keluarga dan kerabatnya.
Oknum petugas pajak itu, kata Soimah lantas meminta dirinya menampilkan bukti dengan memberikan nota keuangannya.
Yustinus mengungkapkan, bahwa pengumpulan bukti pembayaran atau nota keuangan secara sah ada aturannya, bahkan ada di dalam undan-undang.
"Saya hanya ingin bilang, Soimah mesti bersyukur penghasilannya cukup tinggi, sehingga menurut UU Pajak sudah harus menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung pajak," jelas Yustinus.
Mengenai berapa uang yang didapat, berapa biaya yang dikeluarkan, hanya Soimah yang tahu, dan kata Yustinus itu adalah konsekuensi aturan dan administrasi agar adil.
"UU tak bisa membedakan orang per orang, maka dibuat standar yang dijalankan jutaan orang wajib pajak." tuturnya.
"Sebaliknya, wajib pajak pun perlu memahami sudah banyak perubahan dilakukan sehingga tak beralasan untuk menghindari. Kepanjangan pajak itu: pasti aman jika ada komunikasi!," kata Yustinus lagi.
Atas kejadian ini, Kemenkeu pun berusaha untuk melakukan komunikasi dengan Soimah, namun belum berhasil.
Kemenkeu pun meminta bantuan kepada budayawan Butet Kertaradjasa, untuk bisa bertemu secara langsung dengan Soimah.
"Saya sudah menghubungi Mas Butet yang menyediakan diri menjadi penengah yang baik. Beliau mengajak pihak KPP dan Soimah duduk bareng, ngobrol hati ke hati," jelas Yustinus.
