Diungkap Mahfud, Wamenkeu Jelaskan Transaksi Rp189 T di DJBC

Arrijal Rachman, CNBC Indonesia
31 March 2023 14:08
Wakil Menteri Keuangan/Ketua Satgas Percepatan UU Cipta Kerja, Suahasil Nazara dalam acara Outlook Perekonomian Indonesia 2023, Rabu (21/12/2022). (Tangkapan layar via Youtube PerekonomianRI)
Foto: Wakil Menteri Keuangan/Ketua Satgas Percepatan UU Cipta Kerja, Suahasil Nazara dalam acara Outlook Perekonomian Indonesia 2023,

Jakarta, CNBC Indonesia - Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menjelaskan pernyataan Menko Polhukam Mahfud Md mengenai adanya transaksi janggal senilai Rp 189 triliun di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) terkait permasalahan ekspor emas batangan.

Kata Suahasil, temuan itu sebetulnya bermula dari penindakan para pegawai DJBC terhadap eksportir emas yang mengaku barang ekspornya sebagai perhiasan, padahal dalam bentuk logam mulia emas sebesar 218 kilogram dengan nilai US$ 6,8 juta.

"Pada Januari 2016 teman-teman Bea Cukai itu mencegah ekspor, ekspor logam mulia, karena dikatakan ekspornya perhiasan, ternyata bukan perhiasan tapi istilahnya ingot, dan itu distop oleh Bea Cukai," kata Suahasil saat media briefing di kantornya, Jakarta, Jumat (31/3/2023).

Ketika itu, tim penyidik dari Ditjen Bea Cukai telah melakukan pendalaman dan ditemukan adanya unsur tindak pidana di bidang kepabeanan. Berkas-berkas kasus ini kemudian telah dinyatakan P21 dan siap dibawa ke pengadilan.

Lalu, ketika proses di pengadilan negeri berlangsung dalam periode 2017, 2018, serta 2019, Bea Cukai kalah dari pihak eksportir emas, karena pengadilan merasa tidak ada unsur tindak pidana di bidang kepabeanan. Maka, pada 2019 DJBC mengajukan kasasi.

Pada tingkat pengajuan kasasi ini tim DJBC memenangkan pengadilan. Namun, setelahnya pihak eksportir tersebut mengajukan peninjauan kembali (PK) ke pengadilan dan pada akhirnya pengadilan menetapkan Bea Cukai kembali kalah dan dianggap tidak terbukti tindak pidananya.

"Ketika tindak pidana asal tidak terbukti oleh pengadilan ya TPPU enggak maju, jadi 2019 TPPU enggak maju tapi perkaranya itu 2016-2019. Dari periode itu ada berbagai macam pertukaran data yang dilakukan dalam diskusi, rapat, antara Kemenkeu dan PPATK yang ada nama Pak Heru Pambudi disebut terima data itu," ujar Suahasil.

Dalam proses itu sebetuknya DJBC dan PPATK telah melakukan gelar perkara dan diskusi mendalam untuk merespons hasil putusan pengadilan itu. Namun, pada 2020, ditemukan lagi kejadian serupa dengan modus yang dilakukan eksportir emas itu serupa dengan yang dilakukan pada 2016.

Akibatnya, Suahasil mengatakan, karena itu tim dari Bea Cuka dan PPATK sepakat untuk mencari celah hukumnya di bidang pajak. Akibatnya, kasus ini diserahkan juga ke tim penyidik Ditjen Pajak dan dilakukan pemeriksaan bukti permulaan ke tiga wajib pajak, serta pengawasan terjadap tujuh wajib pajak.

Hasil dari upaya itu, didapati nilai penerimaan pajak yang diperoleh terkait dengan informasi hasil pemeriksaan PPATK tersebut senilai Rp 16,8 miliar dan mencegah restitusi senilai Rp 1,6 miliar. Maka, ia menegaskan, tidak ada perbuatan pembiaran oleh Bea Cukai terkait kasus ini dan melibatkan internal bea cukai sehingga kasus ini gagal di pengadilan.

Hal ini juga ditegaskan oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai Askolani. Laporan PPATK terkait nilai total transaksi uang keluar dan uang masuk Rp 189 triliun itu telah ditindaklanjuti dan tidak ditemukan indikasi pelanggaran di bidang kepabenana. Persoalan ini pun kata dia telah dipaparkan ke PPATK dan didapati tak ada yang terkait pegawai DJBC.

"Sari review itu, dari sisi kepabeanan, kita bersama PPATK tidak ada tindak pidana kepabenanan dan 2018-2020 nilainya memang Rp 189 triliun yang masuk ke definisi perusahaan, tidak ada menyangkut sama sekali pegawai Kementerian Keuangan," kata Askolani.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md mengungkapkan nilai transaksi janggal senilai Rp 189 triliun itu diduga terkait tindak pidana pencucian uang dari cukai yang melibatkan 15 entitas. Namun, dalam laporannya malah disebutkan terkait pajak sehingga PPATK melakukan penelitian ulang terhadap respons dari Kemenkeu itu.

"Adalah dugaan pencucian uang, cukai dengan 15 entitas, tapi apa laporannya? menjadi pajak, sehingga ketika diteliti oh iya ini perusahaannya banyak, hartanya banyak, pajaknya kurang, padahal ini cukai laporannya, apa itu? emas," tegas Mahfud.

Mahfud mengatakan, dugaan TPPU terkait cukai itu memanfaatkan komoditas emas batangan yang sudah jadi. Namun, laporan yang disebutkan para pegawai di sana kata Mahfud adalah dalam bentuk emas mentah yang berasal dari Surabaya. Ketika diperiksa PPATK ternyata tidak ditemukan pabrik pengolah emas mentah.

"Katanya ini emas mentah tapi dicetak di Surabaya, ketika dicari di Surabaya enggak ada pabriknya dan itu menyangkut uang miliaran saudara, laporan itu diberikan sejak 2017 oleh PPATK bukan 2020," kata Mahfud.


(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sri Mulyani Salah Pahami Data, Mahfud Seret Nama Heru Pambudi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular