Wah! Mahfud Ungkap Transaksi Janggal di Bea Cukai Rp189 T
Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md mengungkapkan adanya kekeliruan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam menjelaskan transaksi janggal di Kementerian Keuangan yang senilai Rp 349 triliun. Menurut dia ada kesalahan laporan dari bawah ke Sri Mulyani.
Ini Mahfud ungkapkan saat rapat dengar pendapat umum dengan Komisi III DPR di Gedung Parlemen, Jakarta. Mahfud mengaku, memiliki data-data yang detail adanya indikasi transaksi janggal tersebut, bahkan ia secara spesifik mengungkapkan transaksi janggal di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang tak diurus sejak 2017.
"Bahwa ada kekeliruan pemahaman Ibu Sri Mulyani dan penjelasan ibu Sri Mulyani karena ditutupnya akses yang sebenarnya dari bawah. Sehingga apa yang beliau jelaskan tadi itu adalah data yang diterima tanggal 14 ketika bertemu dengan Pak Ivan (Kepala PPATK)," kata Mahfud.
Mahfud mengatakan, sebetulnya saat bertemu dengan Kepala PPATK dan mendapat data pada 14 Maret 2023, Sri Mulyani telah risih dengan adanya temua transaksi janggal sebesar Rp 189 triliun. Transaksi itu kata Mahfud ada di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, namun selalu dibantah oleh anak buahnya saat dikonfirmasi Sri Mulyani.
"Ketika ditanya bu Sri Mulyani itu, ini apa kok ada uang Rp 189 triliun? Itu pejabat tingginya yang eselon I itu (mengatakan) enggak ada bu di sini, enggak pernah ada, katanya. Ini 2020? enggak, enggak pernah ada, katanya. Ada Pak Ivan? lah ada, baru dia oh iya nanti dicari katanya," tutur Mahfud.
Mahfud mengatakan, nilai transaksi janggal senilai Rp 189 triliun itu diduga terkait tindak pidana pencucian uang dari cukai yang melibatkan 15 entitas. Namun, dalam laporannya malah disebutkan terkait pajak sehingga PPATK melakukan penelitian ulang terhadap respons dari Kemenkeu itu.
"Adalah dugaan pencucian uang, cukai dengan 15 entitas, tapi apa laporannya? menjadi pajak, sehingga ketika diteliti oh iya ini perusahaannya banyak, hartanya banyak, pajaknya kurang, padahal ini cukai laporannya, apa itu? emas," tegas Mahfud.
Mahfud mengatakan, dugaan TPPU terkait cukai itu memanfaatkan komoditas emas batangan yang sudah jadi. Namun, laporan yang disebutkan para pegawai di sana kata Mahfud adalah dalam bentuk emas mentah yang berasal dari Surabaya. Ketika diperiksa PPATK ternyata tidak ditemukan pabrik pengolah emas mentah.
"Katanya ini emas mentah tapi dicetak di Surabaya, ketika dicari di Surabaya enggak ada pabriknya dan itu menyangkut uang miliaran saudara, laporan itu diberikan sejak 2017 oleh PPATK bukan 2020," kata Mahfud.
Setelah temuan itu terungkap, PPATK sejak 2017 kata Mahfud sudah menyerahkan laporannya kepada Dirjen Bea dan Cukai saat itu, Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan, serta 2 orang lainnya yang tak ia sebut nama dan jabatannya. Namun laporan itu tidak diberikan dalam surat khusus.
"Kenapa ini tidak pakai surat karena ini sensitif, masalah besar, 2 tahun tidak muncul. 2020 dikirim lagi tidak sampai juga ke bu Sri Mulyani sehingga bertanya ketika kami kasih itu dan yang dijelaskan yang salah di mana salahnya nanti," ucap Mahfud.
(mij/mij)