China Damaikan Arab Saudi-Iran, Xi Jinping 'Tampar' Joe Biden
Jakarta, CNBC Indonesia - Arab Saudi dan Iran sepakat untuk memulai hubungan diplomatik kembali. Ini terjadi setelah hubungan antara Riyadh dan Teheran beku selama 6 tahun terakhir.
Kesepakatan keduanya muncul saat perwakilan kedua negara bertemu di Beijing, China, pada Jumat (10/3/2023). Terlihat foto yang menunjukan Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran Ali Shamkhani berjabat tangan dengan penasihat keamanan nasional Saudi Musaad bin Mohammed Al Aiban.
Sementara itu, diplomat paling senior China, Wang Yi, berdiri di antara mereka. Diketahui, Beijing merupakan inisiator perdamaian ini.
Wang mengatakan bahwa China akan terus memainkan peran konstruktif dalam menangani masalah hotspot dan menunjukkan tanggung jawab sebagai negara besar. Ia menambahkan bahwa China sebagai mediator yang beritikad baik dan dapat diandalkan, telah memenuhi pekerjaannya sebagai tuan rumah dialog.
Peran China ini sendiri terjadi saat hubungan Saudi dan Iran dirasa tidak akan membaik. Ini dikarenakan upaya Teheran yang konsisten menyokong pemberontak Houthi di Yaman, di mana kelompok itu diperangi oleh Saudi.
Beberapa analis mengatakan bahwa ini merupakan bukti makin kuatnya China pada arena politik global, mengalahkan rivalnya, Amerika Serikat (AS).
Mantan pejabat senior AS dan PBB Jeffrey Feltman mengatakan peran China, termasuk pembukaan kembali kedutaan setelah enam tahun, adalah aspek paling signifikan dari perjanjian tersebut.
"Ini akan ditafsirkan, mungkin secara akurat , sebagai tamparan pada pemerintahan Biden dan sebagai bukti bahwa China adalah kekuatan yang sedang naik daun," kata Feltman, yang juga seorang peneliti di Brookings Institution, kepada Reuters.
Hal serupa juga diungkapkan Daniel Russel, diplomat top AS untuk Asia Timur di bawah mantan presiden Barack Obama. Ia mengatakan tidak biasa bagi China untuk bertindak sendiri untuk membantu menengahi kesepakatan diplomatik dalam perselisihan yang bukan merupakan salah satu pihak.
"Pertanyaannya adalah apakah ini bentuk yang akan datang. Mungkinkah itu menjadi pendahulu upaya mediasi China antara Rusia dan Ukraina ketika (Presiden Xi Jinping) mengunjungi Moskow?," terangnya.
Kesepakatan itu muncul saat Iran mempercepat program nuklirnya setelah dua tahun upaya AS yang gagal untuk menghidupkan kembali kesepakatan 2015 yang bertujuan menghentikan Teheran memproduksi bom nuklir. Upaya itu diperumit oleh tindakan keras oleh otoritas Iran terhadap protes dan sanksi keras AS terhadap Teheran atas tuduhan pelanggaran hak asasi manusia.
Brian Katulis dari Institut Timur Tengah mengatakan bahwa untuk AS dan Israel, perjanjian tersebut menawarkan "jalur baru yang mungkin' untuk menghidupkan kembali pembicaraan yang macet tentang masalah nuklir Iran, dengan mitra potensial yakni Saudi.
"Arab Saudi sangat prihatin dengan program nuklir Iran. Jika pembukaan baru antara Iran dan Arab Saudi ini akan bermakna dan berdampak, itu harus mengatasi kekhawatiran tentang program nuklir Iran, jika tidak, pembukaan itu hanya optik," pungkasnya.
(luc/luc)