Bank Tak Mau Beri Dana Hilirisasi? BI, OJK, LPS Jawab Begini!

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) terus mendorong hilirisasi komoditas di tanah air. Sebab, Indonesia dinilai sudah terlalu terlena dengan komoditas mentah di saat harga komoditas tengah melambung.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah sejak dahulu kala sangat terbantu dengan komoditas. Di bawah kepemimpinannya, Jokowi kini meminta agar Indonesia bisa mendapatkan nilai tambah bukan hanya di hulu, tapi juga sampai di hilir.
Secara bertahap, bijih nikel, salah satu bahan baku baterai sudah dilarang ekspor sejak 2020. Adapun dalam beberapa beberapa kesempatan, kepala negara telah mengumumkan untuk melarang ekspor bijih bauksit pada Juni 2023.
Adapun ketentuan mengolah atau memurnikan mineral logam di dalam negeri dalam rangka meningkatkan nilai tambah, mengacu pada Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009, yang diubah dengan UU No 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Disatu sisi, Jokowi juga gusar, karena tampaknya dunia perbankan belum banyak yang mau untuk turut mengawal kebijakan pemerintah melakukan hilirisasi industri pertambangan.
Mantan Gubernur DKI Jakarta juga bahkan berpesan, agar perbankan tidak mempersulit pengajuan kredit para pengusaha industri pertambangan. Sebab usahanya sudah jelas seperti apa keuntungannya bagi negara, maupun bagi mereka pemberi kredit.
Founder dan Chairman CT Corp Chairul Tanjung pun menanyakan kondisi kegusaran Jokowi tersebut dan seperti apa langkah para pemangku kebijakan untuk mendorong hilirisasi.
Chairul Tanjung dalam CNBC Indonesia Economic Outlook 2023 berkesempatan untuk berbincang dengan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (DK OJK) Mahendra Siregar, dan Ketua DK Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa.
"Ini permintaan Pak Presiden (Jokowi), ini bank-bank lokal katanya gak mau ngasih ke project hilirisasi. Sehingga akibatnya itu uang dari hasil hilirisasi keluar lagi ke luar (negeri)," jelas Chairul sambil bertanya seperti apa pandangan dari masing-masing narasumber, dikutip Jumat (3/3/2023).
Baik Perry Warjiyo, Mahendra Siregar, dan Purbaya pun memiliki pandangannya masing-masing mengenai hilirisasi dan bagaimana dukungan masing-masing institusi yang dipimpinnya di Indonesia
Bank Indonesia
Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan, ketahanan suatu negara akan sangat tergantung dari upaya hilirisasi energi, pangan, dan digitalisasi.
Khusus mengenai hilirisasi energi, kata Perry, BI akan mendukung dalam konteks kebijakan bagaimana Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA) bisa lebih lama disimpan lebih lama di dalam perbankan Indonesia.
Sementara dalam hilirisasi pangan, saat ini pihaknya juga masih mendiskusikan, karena ini sangat berkaitan dengan ketahanan pangan dan pengendalian inflasi, juga bagaimana untuk pengolahan nilai tambah berikutnya.
"Dalam dua hilirisasi ini (energi dan pangan), tentu saja BI berkaitan dengan risiko nilai tukarnya. Sehingga, pendalaman dari hedging menjadi sangat penting, termasuk di dalamnya Local Currency Transaction (LCT)," jelas Perry.
LCT juga dikenal dengan Local Currency Settlement. Adapun saat ini dalam implementasi LCT, BI sudah bekerja sama dengan bank sentral di empat negara yaitu Thailand, Malaysia, Jepang, dan China.
"Kami sedang mempercepat untuk Korea Selatan, sehingga local currency transaction bisa mendukung hilirisasi," kata Perry melanjutkan.
"Juga, bagaimana financing hilirisasi ini bersama Bu Menteri Keuangan (Sri Mulyani Indrawati), Pak Mahendra, dalam forum koordinasi pembiayaan pembangunan untuk melakukan sekuritisasi. Itu yang kami lakukan," kata Perry lagi.
Begitu juga dukungan BI dalam memberikan insentif bagi para eksportir yang menempatkan DHE-nya lebih banyak dan lebih lama dalam perbankan tanah air, akan mendapatkan suku bunga yang kompetitif sesuai mekanisme pasar.
Otoritas Jasa Keuangan
Ketua DK OJK Mahendra Siregar menjelaskan, dilihat dari instrumen dan fasilitas yang diberikan oleh perbankan untuk mendukung hilirisasi, adalah dengan memberikan ATMR yang lebih rendah.
Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) merupakan risiko atas modal berkaitan dengan dana yang diinvestasikan pada aktiva berisiko rendah ataupun yang resikonya lebih tinggi dari yang lain.
"Nah, ini berlaku hanya di perbankan, tapi juga di perusahaan pembiayaan. Karena bukan hanya segi pengembangan di hulunya saja, tapi begitu sampai hilir, perlu juga retail financing. Itu juga diberikan kepada lembaga pembiayaan. Jadi, sebenarnya kalau dari segi policy sudah diberikan," jelas Mahendra.
Adapun dari sisi pembiayaan investasinya, kata Mahendra tergantung seberapa jauh melibatkan investor dan pengusahanya itu sendiri.
Dari catatan OJK, kata Mahendra saat ini sebagian besar pengusaha hilirisasi pertambangan berasal dari luar negeri. Oleh karena itu sebagian besar biaya investasi yang diberikan hanya untuk pengadaan capex barang modalnya.
"Itu melekat dengan fasilitas pembiayaan ataupun kredit dari negara dimana barang modal itu berasal," jelas Mahendra.
Artinya, bukan perbankan tidak mau mendanai, tapi para pengusaha itu juga tampaknya hanya 'berani' meminjamkan dana di perbankan tempat asal mereka.
Lagipula untuk mendapatkan kredit lewat perbankan Indonesia, investor luar negeri itu, kata Mahendra akan sangat mempertimbangkan risiko nilai tukar rupiah.
Kendati demikian, belakangan kata Mahendra semakin banyak proporsi investor atau pengusaha Indonesia untuk bisa masuk sebagai joint venture dengan para investor luar negeri tersebut.
"Ini membuka peluang yang semakin besar, baik untuk perbankan maupun pasar modal cari dana fundraising, termasuk IPO," jelas Mahendra.
OJK mencatat, dalam pipeline, sudah ada beberapa perusahaan untuk melakukan IPO, dalam rangka pembiayaan smelter dari produk mineral dan batubara di Indonesia.
"Ini dalam semester satu aja barangkali sudah bisa 34 dan ukuran besar. Sehingga sebenarnya variasi yang ada, baik dari perbankan untuk working capital maupun pasar modal sampai ke hilirnya," jelas Mahendra.
"Untuk retail nah ini bisa dilakukan terus untuk ke depan. Saya melihat persoalan ini didukung dari cara pandang dan juga strategik sosialnya," kata Mahendra lagi.
Lembaga Penjamin Simpanan
Ketua DK LPS Purbaya Yudhi Sadewa memandang, hilirisasi adalah proses transformasi ekonomi yang harus didukung penuh.
Purbaya menyebut, proses industrialisasi di Indonesia atau proses dari agrikultur ke manufaktur telah terhenti sejak terjadi krisis ekonomi pada 1998.
"Ini (hilirisasi) langkah bagus ke depan. Pemain domestik harus didukung, selama ini gembar-gembor hilir itu pemain asing," jelas Purbaya.
Oleh karena itu, Purbaya menyarankan agar para investor domestik juga harus didukung untuk bisa berperan aktif dalam proses hilirisasi di tanah air.
"Saya usul ke Pak Mahendra sebagai KSSK bagaimana nanti meeting selanjutnya, kita buat kebijakan sektor finansial yang mendukung hilirisasi yang dilakukan oleh pemain domestik," jelas Purbaya.
"Daripada kita ngomong ekonomi bagus-bagus, ya bagus. Tapi ngomong ke sektor riil mungkin lebih nyata," kata Purbaya lagi.
[Gambas:Video CNBC]
CT Beberkan 3 Ancaman Dunia Pasca Covid
(cap/cap)