
Terungkap! Hanya Negara Ini Menentang RI Setop Ekspor Nikel

Jakarta, CNBC Indonesia - Kebijakan Indonesia untuk menghentikan ekspor bijih nikel sejak 2020 lalu telah berdampak pada melonjaknya nilai tambah untuk negara.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat mengungkapkan bahwa nilai tambah nikel RI telah melonjak menjadi sekitar US$ 30-33 miliar atau sekitar Rp 450 triliun pada 2022 dari sebelumnya saat masih mengekspor bijih nikel hanya sekitar US$ 1,1 miliar atau sekitar Rp 17 triliun.
Namun sayangnya, di tengah keberhasilan ini, ada pula dampak buruknya, salah satunya yaitu Pemerintah Indonesia digugat di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Bahkan, Indonesia harus menelan pil kekalahan atas gugatan di WTO ini.
Meski demikian, ternyata kebijakan Pemerintah Indonesia ini tidak membuat perdagangan Indonesia dengan internasional menjadi buruk. Pasalnya, yang menentang kebijakan Pemerintah Indonesia ini ternyata hanya berasal dari Uni Eropa.
Staf Khusus Menteri Perdagangan Bidang Perjanjian Perdagangan Internasional, Bara Krishna Hasibuan mengatakan, bahkan Amerika Serikat saja tidak mengajukan gugatan dan keberatan atas kebijakan larangan ekspor bijih nikel RI ini.
"Jadi memang yang mengajukan kasus kan cuma Uni Eropa, AS juga tidak mengajukan gugatan, jadi cuma Uni Eropa," ungkapnya dalam Mining Zone CNBC Indonesia, dikutip Kamis (16/2/2023).
Meski kalah pada gugatan pertama, namun Indonesia telah resmi mengajukan proses banding di Badan Banding (Appellate Body) WTO pada Desember 2022 lalu. Dia mengatakan, pemerintah sudah menyiapkan argumentasi untuk bisa memenangkan gugatan di banding kali ini.
"Nikel sudah growing, kita sudah ada puluhan smelter yang mengolah nikel tersebut, itu argumentasi kita. Jadi, kita akan di situ dan nanti di tahun 2024 atau 2025 ketika sidang banding mulai, kita sudah banyak smelter dan industri kita lebih matang," jelasnya.
Lebih lanjut, ia menyadari Indonesia kemungkinan akan digugat kembali di WTO menyusul adanya kebijakan hilirisasi komoditas melalui larangan ekspor mineral mentah lainnya seperti konsentrat tembaga, bauksit, timah dan lain sebagainya. Namun, menurut dia pemerintah sudah siap dengan segala risiko yang bakal dihadapi.
"Saya pikir itu satu risiko. Tapi di saat yang sama kita juga punya kepentingan sendiri, kita ingin bangun perekonomian kita, kita ingin jadikan hilirisasi yang hasilnya untuk bisa bersaing di dunia," ujarnya.
Seperti diketahui, keputusan final panel report Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body) WTO atas gugatan Uni Eropa terhadap Indonesia ini telah dirilis pada 17 Oktober 2022 lalu. Dalam laporan panel ini dinyatakan Indonesia kalah dari gugatan Uni Eropa tersebut.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif pun mengatakan bahwa pemerintah berpendangan keputusan panel belum memiliki kekuatan hukum tetap.
Dengan demikian, Indonesia tidak perlu mengubah peraturan atau bahkan mencabut kebijakan yang dianggap tidak sesuai sebelum keputusan sengketa diadopsi Dispute Settlement Body (DSB).
"Keputusan panel belum memiliki kekuatan hukum tetap, sehingga Pemerintah akan melakukan banding," ujar Arifin dalam Raker bersama Komisi VII, Senin (21/11/2022).
Selain itu, kata Arifin pemerintah juga akan mempertahankan kebijakan hilirisasi mineral (nikel) dengan mempercepat proses pembangunan smelter. Adapun final panel report tersebut berisi beberapa poin penegasan.
"Memutuskan bahwa kebijakan Ekspor dan Kewajiban Pengolahan dan Pemurnian Mineral Nikel di Indonesia terbukti melanggar ketentuan WTO Pasal XI.1 GATT 1994 dan tidak dapat dijustifikasi dengan Pasal XI.2 (a) dan XX (d) GATT 1994.
Berikutnya, menolak pembelaan yang diajukan oleh Pemerintah Indonesia terkait dengan keterbatasan jumlah Cadangan Nikel Nasional dan untuk melaksanakan Good Mining Practice (Aspek Lingkungan) sebagai dasar pembelaan.
Kemudian, final report akan didistribusikan kepada anggota WTO lainnya pada tanggal 30 November 2022 dan akan dimasukkan ke dalam agenda DSB pada tanggal 20 Desember 2022.
Setidaknya ada beberapa peraturan perundang-undangan yang dinilai melanggar ketentuan WTO. Pertama, UU Nomor 4 Tahun 2009: Pertambangan Mineral dan Batubara.
Kedua, Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019: Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara.
Ketiga, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 96 Tahun 2019: Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian. Keempat, Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2020: Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ternyata Cuma Negara Ini Tak Terima RI Larang Ekspor Nikel
