Sectoral Insight

Katanya RI Tanah Surga, Tapi Anggaran Petani Bikin Nelangsa

CNBC Indonesia Research, CNBC Indonesia
14 February 2023 07:00
Sejumlah Petami Gelar Demo di depan Kementan. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
  • Keberpihakan pemerintahan era pemerintahan Joko Widodo terhadap sektor pertanian cenderung lebih rendah dibandingkan sektor manufaktur dan pertambangan.
  • Anggaran Kementan, subsidi pupuk terus menerus disunat sehingga pertumbuhan ekonomi sektor pertanian mengecewakan, dan sekarang pemerintah gelagapan menghadapi risiko krisis pangan.
  • Lahan pertanian sawah semakin menciut, sementara mega proyek food estate yang diinisiasi untuk mengatasi masalah pangan belum membuahkan hasil.

Jakarta CNBC Indonesia - Keberpihakan negara pada kehidupan wong cilik seperti buruh petani dan nelayan hanya retorika. Terpilihnya bekas 'tukang kayu' sebagai presiden dua periode yang dibackupoleh partai penguasa dengan klaim partai wong cilik tak banyak membantu kinerja sektor pertanian, kehutanan dan perikanan; kue ekonomi 'remahan rengginan' wong cilik.

Alokasi anggaran rendah, perhatian minim, back upĀ politik yang ala kadar telah membuat produk domestik bruto (PDB) wong cilik ini tergerus sejak 2015. Padahal PDB klasifikasi ini mampu menyerap 40 juta lebih tenaga kerja; dua kali lipat lebih banyak dari kemampuan sektor industri manufaktur, dan 30 kali lipat dari serapan sektor pertambangan-dua sektor usaha milik konglomerat yang senantiasa mendapat perhatian penuh istana.

Pertumbuhan PDB sektor ini tak pernah menyentuh angka 4% di zaman Presiden Joko Widodo (Jokowi). Lebih rendah katimbang pencapaian pendahulunya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang pernah menyentuh angka 4,8% pada 2008 dan 4,2% pada 2012.

PDB sektor wong cilik ini naik turun sejak awal zaman SBY, tapi di tangan Jokowi konsisten menurun. Kue ekonomi mereka tergerus oleh gegap gempita infrastruktur, industri pengolahan, tambang dan kendaraan listrik, atau sebut saja kue ekonomi untuk orang-orang kelas menengah. Tertimpa isu-isu heboh infrastruktur dan hilirisasi.

Padahal pada saat krisi sekalipun, seperti terjadi 2020 akibat pandemi Covid, PDB sektor wong cilik tetap bertumbuh 1,77% sementara manufaktur nyungsep; minus hampir 3%.

Indikasi awal keberpihakan alakadaroleh negara bisa ditilik dari arah politik anggaran minim, seperti anggaran Kementerian Pertanian. Saat efektif pertama kali menjadi presiden 2015, Jokowi menaikkan anggaran Kementan secara signifikan, hingga 112% menjadi Rp32,7 triliun dibandingkan era akhir SBY.

Namun, keberpihakan anggaran itu terus menurun hingga akhirnya pada 2022 nilai nominalnya kalah besar dari tahun akhir SBY, yakni cuma Rp14,45 triliun. Perhatian kecil terhadap anggaran pertanian ini segendang sepenarian dengan kinerja PDB wong cilik yang stagnan dan terus melandai di ujung pemerintahan Jokowi.

Kebijakan politik anggaran yang tak berpihak kepada petani juga tampak pada subsidi pupuk. Anggaran ini, meskipun diberikan kepada petani, tetapi tidak dikelola Kementan, namun dibayarkan Kementerian Keuangan secara langsung kepada pabrik pupuk untuk disalurkan kepada petani di daerah.

Angkanya sebenarnya tinggi pada periode pertama pemerintahan Jokowi, melonjak 21% di tahun 2019 menjadi Rp 34 triliun. Namun, fokus Jokowi terbelah setelah periode kedua harus berjibaku dengan pandemi Covid 19, krisis energi dan krisis pangan, yang membuat anggaran habis untuk subsidi kesehatan dan energi.

Anggaran subsidi pupuk terjun bebas justru pada saat petani sedang menunggu uluran lebih tangan pemerintah karena perang Rusia-Ukraina membuat harga pupuk melambung tinggi. Harga pupuk global, dan juga domestik melonjak lebih dari dua kali lipat, karena ada bahan baku utama ada yang berasal dari kawasan konflik.

Proteksi pemerintah terhadap area lahan basah atau sawah yang tergerus alih fungsi lahan juga nyaris tidak ada, dibuktikan dengan luasnya yang terus turun. Dari 8,08 juta hektar pada 2015 menjadi 7,46 juta ha pada 2019-sayang datanya tidak tersedia lagi di BPS, diganti dengan data luas panen dan angkanya melonjak. Luas panen padi pada 2020 diperkirakan sebesar 10,66 juta hektar, turun sebanyak 20,61 ribu hektar dari 2019.

Luas lahan sawah semakin menciut seiring dengan alih fungsi lahan sawah menjadi pabrik dan perumahan di berbagai tempat, khususnya kawasan sub-urban. Sebagai contoh, di lingkup kecil Kabupaten Bekasi, Jawa Barat yang menyangga Jakarta, lahan pertanian menyusut sekitar 1.500 hektar per tahun.

Sepintas penurunan lahan yang beralih fungsi menjadi pabrik dan perumahan itu seolah menunjukkan adanya pergeseran tenaga kerja dari pertanian ke sektor industri. Namun lagi-lagi, data yang ada menunjukkan hal itu tidak terjadi. Pertanian tetap menjadi tulang punggung penyerap lapangan pekerjaan meskipun perhatian terhadapnya kurang.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah penduduk bekerja di Indonesia mencapai 135,30 juta orang pada Agustus 2022. Sementara porsi jumlah tenaga kerja di sektor manufaktur stagnan di kisaran 14% sepanjang kepemimpinan Jokowi, seperti ditunjukkan pada data yang ada. Adapun sumbangan sektor PDB wong cilik bisa mencapai lebih dari 29%.

Jadi, kemana perginya para buruh tani yang kehilangan lahannya itu?Dugaannya lari ke sektor usaha perdagangan dengan maraknya e-commerce yang banyak menjajakan barang impor.

Rentan Krisis Pangan

Presiden Jokowi tidak berpangku tangan. Ada sejumlah langkah yang telah dilakukan untuk mendorong sektor pertanian. Misalnya, pembangunan bendungan, embung dan irigasi. Sejak tahun 2015 sampai 2018, pemerintah telah membangun 55 bendungan, jaringan irigasi 865.389 ha dan embung sebanyak 942 buah.

Jokowi juga menginisiasi pembangunan kawasan pangan atau food estate, yang tidak hanya menanam padi namun tanaman pangan utama lain yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), modal, serta organisasi dan manajemen modern. Program food estate menjadi Program Strategis Nasional 2020-2024 dengan target lumbung pangan nasional pada lahan seluas 165.000 ha.

Hasilnya, masih menjadi tanda tanya. Banyak pihak meragukan hasil dari mega proyek ini, karena terlalu ambisius, dan pengerjaannya justru semacam menjadi bancakan kementerian dan lembaga di luar nomenklaturnya, yaitu Kementan. Misalnya, Kementerian Pertahanan yang biasa mengurus senjata dan pertahanan ikut ikutan membuka lahan, juga kementerian koordinasi seperti Kemaritiman dan Investasi ikut mengklaim.

Apa yang ditabur itulah yang dituai. Dampak serius dari keberpihakan minim pada sektor pertanian ini membuat Indonesia kini rentan terhadap krisis pangan global yang mengancam. Ini telah terjadi sekarang, dimana penyelesaian nya masih menggunakan cara laten; impor dan impor.

Dengan kondisi geopolitik tidak menentu dan pertumbuhan ekonomi dunia melambat, Indonesia mungkin saja lolos dari dampak krisis finansial, tetapi tidak dengan ketahanan pangan. Dan, bagi negara yang mengklaim agraris, ini menyedihkan.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(mum/mum)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation