Membedah Utang RI Rp7.733 T, Awas Salah Kaprah!

Tim Redaksi, CNBC Indonesia
09 February 2023 12:00
INFOGRAFIS, Utang Luar Negeri RI Turun Lagi
Foto: Infografis/ Utang RI/ Edward Ricardo

Jakarta, CNBC Indonesia - Utang pemerintah dari tahun ke tahun terus mengalami lonjakan. Topik yang selalu menjadi isu sensitif ini, memang cukup menjadi perhatian banyak masyarakat.

Kementerian Keuangan mencatat, posisi utang pemerintah hingga akhir Desember 2022 mencapai Rp 7.733,99 triliun atau setara 39,57% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Dirjen Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko (DJPPR) Kemenkeu Suminto menjelaskan, utang pemerintah didominasi oleh rupiah, yakni mencapai 71% dan sisanya 29% dalam bentuk valuta asing atau mata uang asing.

Porsi utang dalam bentuk valas, kata Suminto selalu menurun dari tahun ke tahun. Hal ini seiring dengan visi pemerintah untuk mendorong investor domestik. Visi itu sukses membuat kepemilikan utang dari asing terus menciut.

"Kalau pada tahun 2011, 2012, 2013 utang valas masih pada kisaran 44% hingga 46%, pada tahun 2022 utang valas turun menjadi 29%," jelas Suminto saat melakukan rapat kerja dengan Komisi XI DPR beberapa hari lalu, dikutip Kamis (9/2/2023).

Adapun utang valas pemerintah didominasi oleh mata uang dolar Amerika Serikat (AS), Euro, hingga Yen Jepang. Utang valas tersebut diperoleh dari penerbitan surat berharga negara (SBN) dan pinjaman.

Secara rinci, total utang pemerintah yang mencapai Rp 7.733,99 triliun terdiri dari Rp 6.846,89 triliun pada SBN atau 86,53% dari total utang. Sementara dari pinjaman sebesar Rp 887,1 triliun atau 11,47% dari total utang.

Besaran utang dalam bentuk SBN, terdiri dari domestik atau denominasi rupiah sebesar Rp 5.452,36 triliun, mencakup surat utang negara (SUN) senilai Rp 4.441,12 triliun dan surat berharga syariah negara (SBSN) Rp 1.011,24 triliun.

Kemudian dalam bentuk denominasi valuta asing sebesar Rp 1.394,53 triliun, yang mencakup SUN senilai Rp 1.064,37 triliun dan SBSN mencapai Rp 330,16 triliun.

Kepemilikan SBN saat ini pun didominasi oleh perbankan dan Bank Indonesia (BI), sedangkan kepemilikan investor asing terus menurun sejak 2019 yang mencapai 38,57% menjadi hanya 14,36% per Desember 2022.

"Kepemilikan SBN oleh investor domestik terus tumbuh, yang menunjukkan upaya pemerintah untuk mempertahankan dominasi kepemilikan SBN oleh investor domestik pada SBN tradable," jelas Suminto.

Selanjutnya utang yang berasal dari pinjaman, rinciannya yakni mencakup pinjaman dalam negeri sebesar Rp 19,67 triliun dan pinjaman luar negeri senilai Rp 867,43 triliun.

Pinjaman luar negeri itu terdiri dari pinjaman bilateral sebesar Rp 282,75 triliun, multilateral Rp 529,99 triliun, serta commercial banks sebesar Rp 54,70 triliun.

Suminto menjelaskan, pembiayaan utang adalah bagian dari kebijakan defisit APBN yang disepakati antara pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Dalam penyusunan APBN pemerintah melakukan pembasahan bersama DPR RI. Lewat sejumlah pertemuan, antara pemerintah dan DPR pun disepakati besaran target penerimaan, belanja, defisit anggaran, serta penarikan utang yang diperlukan untuk menutupi defisit.

Oleh karena itu, Suminto menegaskan, tatkala utang pemerintah terus bertambah, bukan berarti pemerintah suka berutang.

Penarikan utang yang dilakukan pemerintah baik melalui penerbitan surat berharga negara (SBN) maupun pinjaman, seluruhnya mengacu kepada kebijakan yang telah disepakati dengan DPR RI.

"Ketika pemerintah berutang, bukan berarti karena pemerintah suka atau demen berutang," ujarnya.

"Pemerintah bersama DPR menyusun APBN bersama, kemudian ketahuan penerimaannya akan berapa, belanjanya akan berapa, dan defisitnya berapa, sehingga pemerintah melakukan utang adalah untuk membiayai defisit yang sudah ditetapkan bersama-sama oleh pemerintah dengan DPR. Tidak lebih dari itu," ujarnya lagi.

Suminto bilang, penarikan utang dilakukan pemerintah dengan pengelolaan portofolio secara baik. Komposisi utang akan mempertimbangkan dari sisi tenor, bunga, hingga nilai tukar rupiah terhadap beberapa mata uang asing.

Pada prinsipnya, pemerintah akan mengoptimalkan portofolio utang dengan mencari biaya yang minimal, serta secara risiko bisa terkendali.

"Karena kalau kita bicara pembiayaan yakni dua hal yang harus kita peroleh, yaitu dari sisi biaya dan risiko," jelas Suminto.

Utang pemerintah di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) memang terus mengalami kenaikan, baik di periode pertama maupun periode kedua pemerintahannya. Artinya lonjakan utang memang sudah terjadi jauh sebelum pandemi Covid-19.

Saat melakukan kampanye Politik, Jokowi berjanji untuk mengurangi jumlah utang pemerintah. Alih-alih berkurang, utang pemerintah justru terus mengalami kenaikan.

Berikut rincian utang pemerintah Jokowi dari tahun ke tahun:

- Total utang pemerintah tahun 2014: Rp 2.608,78 triliun

- Total utang pemerintah tahun 2015: Rp 3.165,13 triliun

- Total utang pemerintah tahun 2016: Rp 3.706,52 triliun

- Total utang pemerintah tahun 2017: Rp 3.938,70 triliun

- Total utang pemerintah tahun 2018: Rp 4.418,30 triliun

- Total utang pemerintah tahun 2019: Rp 4.779,28 triliun

- Total utang pemerintah tahun 2020: Rp 6.074,56 triliun

- Total utang pemerintah tahun 2021: Rp 6.908,87 triliun

- Total utang pemerintah tahun 2022: Rp 7.733,99 triliun.

Suminto menilai, kondisi utang pemerintah masih dalam kategori aman. Lantaran, rasio utang hingga akhir tahun lalu sebesar 39,57% terhadap PDB, jauh di bawah ketentuan yang diatur dalam undang-undang yakni 60% terhadap PDB.

"Jadi dapat kami sampaikan, bahwa utang kita masih pada level yang cukup moderat dan aman," tuturnya.

Rasio utang China terhadap PDB masih bertengger di level 76,89% hingga akhir 2022, India 83,40%, Malaysia 69,56%, Thailand 61,45%, Filipina 59,27%, Brazil 88,19%, dan Afrika Selatan 67,98%.

Sedangkan dibandingkan negara maju, juga masih lebih rendah, sebab rasio utang Amerika Serikat terhadap PDB-nya sudah sebesar 122,20%, Jerman 71,11%, Prancis 111,83%, Inggris 86,99%, Jepang 263,92%, dan Korea Selatan 54,08%


(cap/cap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tok! Sri Mulyani Tarik Utang Bank Dunia Cs Wajib Lapor DPR

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular