IMF Beberkan 6 Biang Kerok Masalah Global 2023, Ada China!

Tommy Patrio Sorongan, CNBC Indonesia
01 February 2023 08:46
Logo Dana Moneter Internasional (IMF)
Foto: Logo Dana Moneter Internasional (IMF) (REUTERS/Yuri Gripas)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pertumbuhan ekonomi global 2023 diperkirakan tidak begitu suram dari perkiraan sebelumnya. Namun, International Monetary Fund (IMF) memperingatkan berbagai tantangan ekonomi global masih akan menghantui.

Kepala Ekonom dan Direktur Riset IMF Pierre-Olivier Gourinchas mengungkapkan, sejumlah tantangan masih akan dihadapi tahun ini.

Inflasi global diperkirakan akan melandai tahun ini, namun 80% negara dunia masih akan mencatatkan inflasi di atas level sebelum pandemi, bahkan hingga tahun 2024.

IMF memperkirakan inflasi global turun 8,8% pada 2022 menjadi 6,6% pada 2023, dan 4,3% pada 2024. Namun, level ini masih berada di atas rata-rata sebelum pandemi dengan inflasi mencapai 3,5%.

"Pertarungan melawan inflasi masih belum berakhir, kebijakan moneter harus tetap kontraktif, dan beberapa negara perlu melakukan pengetatan lebih lanjut," jelas Gourinchas dalam konferensi pers World Economic Outlook 2023, Selasa (31/1/2023).

Kendati demikian, sejumlah tantangan ke depan, dikhawatirkan justru akan meningkatkan laju inflasi global.

Di negara maju, IMF memperkirakan laju inflasi rata-rata tahunan menurun menjadi 4,6% pada 2022, dari 7,3% tahun lalu. Kemudian, inflasi akan kembali turun menjadi 2,6% tahun 2024.

Sementara itu, di negara berkembang, laju inflasi akan turun dari 9,9% pada 2022, menjadi 8,1% pada 2023 dan 5,5% pada 2024.

IMF mencatat laju inflasi diproyeksi mengalami moderasi di negara berpenghasilan rendah dari 14,2% di 2022, menjadi 8,6% pada tahun ini sebelum turun mendekati level pra-pandemi pada 2024.

Dalam laporan World Economic Outlook Update January 2023, IMF mencatat setidaknya sumber masalah inflasi dunia akan datang dari berbagai laju ekonomi di berbagai negara. 

Keenam sumber masalah yang bisa meningkatkan inflasi global lebih lanjut, menurut IMF yakni:

1. Pemulihan China Terhenti

Di tengah tingkat kekebalan populasi yang masih rendah dan kapasitas rumah sakit yang tidak mencukupi, dan konsekuensi ketahanan kesehatan di Negeri Tirai Bambu ini dapat menghambat pemulihan.

Mengingat China merupakan negara terbesar sebagai pemasok kebutuhan barang baku dari penjuru dunia. Melambatnya ekonomi di China, dapat merusak rantai pasok global.

Krisis yang mendalam di pasar real estat tetap menjadi sumber utama kerentanan di China.  Dengan risiko gagal bayar yang meluas oleh pengembang dan mengakibatkan ketidakstabilan sektor keuangan.

"Berdampak ke seluruh dunia, melalui permintaan yang lebih rendah dan masalah rantai pasokan," jelas IMF dalam laporannya.

2. Tensi Perang di Ukraina Meningkat

Eskalasi perang di Ukraina tetap menjadi sumber utama kerentanan, terutama untuk Eropa dan negara-negara berpenghasilan rendah.

Eropa menghadapi harga gas yang lebih rendah dari yang diperkirakan, setelah menyimpan banyak cadangan sebagai antisipasi terjadinya kekurangan pasokan pada musim dingin ini.

Masalahnya, pasokan gas tidak akan mungkin diambil dari jalur perdagangan dengan Rusia.

"Ini akan menjadi menantang menjelang musim dingin, terutama jika cuaca sangat dingin dan permintaan energi China meningkat, yang menyebabkan lonjakan harga," jelas IMF.

Masih berlangsungnya perang antara Rusia dan Ukraina, tentu membawa harga pangan dan energi juga diperkirakan masih akan tinggi.

"Dengan kenaikan harga pangan dan energi, keresahan sosial di kalangan masyarakat dapat meningkat," jelas IMF.

3. Lonjakan Utang

IMF mencatat, sejak bulan Oktober, sovereign spread untuk pasar negara berkembang dan ekonomi berkembang telah sedikit menurun didukung oleh pelonggaran kondisi keuangan global dan depresiasi dolar.

Sovereign spread adalah terkait dengan risiko negara, yaitu perbedaan antara suku bunga pada surat utang US Treasury dan surat serupa dari pemerintah lain.

"Sekitar 15% negara berpenghasilan rendah diperkirakan berada dalam tekanan utang - 45% diantaranya menghadapi risiko tinggi tekanan utang, dan 25% ekonomi negara berkembang juga berisiko tinggi," jelas IMF.

Kombinasi tingkat utang yang tinggi akibat pandemi, pertumbuhan yang lebih rendah, dan biaya pinjaman yang lebih tinggi memperburuk kerentanan ekonomi ini, terutama yang membutuhkan pembiayaan dolar jangka pendek yang signifikan.

4. Inflasi Masih Menjadi Momok

Pengetatan pasar tenaga kerja yang terus menerus, dapat diterjemahkan menjadi pertumbuhan upah yang lebih kuat dari perkiraan.

Harga minyak, gas, dan makanan yang lebih tinggi dari perkiraan akibat perang di Ukraina, atau dari rebound yang lebih cepat dalam pertumbuhan China.

"Hal-hal tersebut dapat kembali meningkatkan inflasi utama dan berlanjut ke inflasi inti. Sehingga membutuhkan kebijakan moneter yang lebih ketat," jelas IMF.

5. Gejolak Pasar Keuangan Dunia

Pelonggaran dini dalam pasar keuangan global dalam melawan inflasi lebih rendah, juga diyakini dapat memperparah gejolak pasar uang global.

"Untuk alasan yang sama, rilis data inflasi yang tidak menguntungkan dapat memicu repricing aset secara tiba-tiba dan meningkatkan volatilitas di pasar keuangan," jelas IMF.

"Pergerakan seperti itu dapat membebani likuiditas dan berfungsinya pasar, dengan efek riak pada ekonomi riil," kata IMF lagi.

6. Sanksi Terhadap Rusia

IMF menyebut, perang di Ukraina dan sanksi internasional terkait yang bertujuan menekan Rusia untuk mengakhiri permusuhan, justru akan menambah rumit rantai pasok dunia.

Menurut IMF sanksi lebih lanjut kepada Rusia, dapat memecah ekonomi dunia menjadi blok-blok dan memperkuat ketegangan geopolitik dari sebelumnya, seperti yang terkait dengan sengketa perdagangan AS-China.


(cap/cap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ekonomi Gelap di Mana? Data Sebut RI Cs "Terang" Tahun Depan

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular