Apa Indonesia Bisa Alami Resesi Seks? Ini Kata Bos BKKBN

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
Sabtu, 28/01/2023 12:45 WIB
Foto: Infografis/Ini Dia Negara-negara yang Alami 'Resesi Seks', RI Aman?/Arie Pratama

Jakarta, CNBC Indonesia - Penurunan hubungan seksual di beberapa negara dilaporkan mengalami tren penurunan. Fenomena ini kerap disebut sebagai 'resesi seks'.

Lantas bagaimana pandangan dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengenai fenomena resesi seks. Apakah Indonesia berpotensi mengalami resesi seks?

Kepala BKKBN Hasto Wardoyo sendiri tidak setuju dengan adanya istilah resesi seks.


"Saya sebagai dokter tidak meyakini itu. Resesi seks itu istilah yang populer tapi salah. Karena tidak mungkin terjadi, cuma enak di dengar dan seolah-olah enak dipahami," jelas Hasto kepada CNBC Indonesia, Jumat (27/1/2023).

Menurut Hasto, hubungan seksual itu akan selalu ada dan terjadi. "Seks itu tidak ada resesinya. Kecuali ada terjadi bencana. Bencana terus orangnya stres semua karena rumahnya rusak semua dan tidak ada hubungan seks sama sekali. Itu resesi seks namanya," jelasnya.

"Kalau resesi dalam artian menurun animo memiliki anak seperti child free itu mungkin terjadi," ujarnya lagi. Oleh karena itu, menurut Hasto kemungkinan yang ada dan bisa terjadi adalah resesi untuk fertilitas.

Pun, resesi fertilitas juga sangat kecil kemungkinannya terjadi di Indonesia. Data BKKBN menunjukkan, dalam setahun terdapat 2 juta pasangan yang menikah di Indonesia.

Selain itu juga, jumlah bayi yang dilahirkan sebanyak 4,8 juta jiwa dalam satu tahun. "Jadi, 80% orang yang menikah di Indonesia itu adalah hamil pada tahun pertama. Karena semua yang menikah itu beramai-ramai ingin hamil di Indonesia," jelas Hasto.

Sementara 20% lainnya, berdasarkan statistik BKKBN kata Hasto bukan tidak mau hamil, tapi karena beberapa pasangan tidak bisa hamil karena ada gangguan fertilitas. "Itu kenyataan di negara kita."

"Negara kita jauh dari isu child free, resesi seks. Indonesia jauh. Mungkin bisa 50 tahun lagi atau lebih, setelah ada perubahan paradigma. Sampai hari ini belum ada perubahan," jelas Hasto.

Hasto menegaskan bahwa, sebagian besar pernikahan yang terjadi Indonesia bertujuan untuk pro-kreasi, bukan untuk sekedar rekreasi dan security.

Istilah prokreasi yakni hubungan suami istri yang bertujuan untuk menghasilkan keturunan sebagai generasi penerus.
Sementara rekreasi hanya semata untuk mendapatkan hubungan seks yang aman dan security hanya menikah untuk mendapatkan keamanan.

"Makanya budaya kita itu kalau Idul Fitri, manten baru belum hamil itu, waduh gak enak itu. Ditanya terus itu, udah isi belum. Dan itu terjadi secara statistik, 80% pasangan menikah hamil pada tahun pertama," tuturnya.

Lagi pula, kata Hasto saat ini Total Fertility Rate (TFR) di Indonesia masih cukup baik, yakni secara rata-rata nasional di angka 2,1 pada 2022.

Hasto menjelaskan, jika angka TFR kurang dari 2, maka jumlah penduduk akan menghasilkan minus growth atau penurunan jumlah angka penduduk. Di masing-masing daerah masih menemukan adanya kesenjangan angka TFR dan belum merata.

"Ada yang mendekati 3 seperti di Papua. Ada yang masih 2,7 hingga 2,8 seperti di NTT (Nusa Tenggara Timur). Ada yang masih 2,5 - 2,6 seperti di Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Masih banyak yang terus-terusan hamil. Itu secara nasional belum rata, tapi rata-rata nasional sudah 2,1," tuturnya

BKKBN pun mencatat, angka kelahiran menurut kelompok umur (Age Specific Fertility Rate/ASFR) pada perempuan muda usia 15-19 tahun telah mengalami penurunan.

Pada 2021, angka ASFR pada perempuan yang pernah melahirkan atau hamil pada usia 15-19 tahun berada pada angka 22 per 1.000. Pada 2022 angka ASFR pada perempuan usia 15-19 tahun menurun menjadi 21 per 1.000.

"Bahwa orang semakin delay menikahnya. Orang semakin melek dengan masalah kesehatan reproduksi. Pendidikan semakin meningkat, pelan-pelan mereka sadar, hamil kurang dari usia 20 tahun itu tidak sehat dan berbahaya," jelas Hasto.

Sementara kata Hasto, perempuan yang hamil dan melahirkan pada usia 20 tahun ke atas, menurut Hasto tidak terlalu menjadi concern BKKBN.

"Karena itu kan sudah normal. Kelahiran umur yang normal. Jadi gak ada gunanya kita melihat angka kelahiran di pada usia 25 tahun dan seterusnya. Datanya ada, tapi tidak terlalu penting," tuturnya.

Seperti diketahui, istilah sex recession atau resesi seks pertama kali dimuat oleh Kate Julian, peneliti dan penulis yang dimuat oleh The Atlantic pada 2018. Resesi seks merujuk pada fenomena hubungan seks yang kian menurun.

Julian kemudian mengutip sebuah penelitian dari Jean M. Twenge, profesor psikologi di San Diego State University yang melakukan penelitian sederhana, bagaimana kehidupan seksual warga di Amerika Serikat (AS).

Mengambil data dari General Social Survey dari 1990-an hingga 2014, Twenge menemukan rata-rata orang dewasa berhubungan seks menurun dari 62 kali dalam setahun jadi 54 kali saja.

Dari hasil wawancaranya dengan para ahli, Julian mendapat berbagai macam jawaban soal penyebab resesi seks di antaranya, penggunaan antidepresan, tingkat kecemasan tinggi, tekanan ekonomi, video porno, kurang tidur, obesitas, dan cara mendidik orang tua.

"Ini bukan hanya fenomena di Amerika. Menurut artikel Economist baru-baru ini, kaum muda di Jepang memandang seks sebagai 'mendokusai' atau membosankan," jelas Julian, seperti dikutip dari The Atlantic, Jumat (27/1/2023).

"Malah memilih untuk sering mengunjungi toko onakura, di mana pria membayar untuk melakukan masturbasi di depan karyawan wanita," kata Julian lagi.

Dengan munculnya internet, jauh lebih mudah untuk mengakses pornografi, yang kemungkinan besar berkontribusi pada lonjakan masturbasi dan, selanjutnya, Resesi Seks.

Menurut Julian, berdasarkan wawancaranya dengan sosiolog Lisa Wade, mengungkapkan kaum muda lebih cenderung melakukan hubungan seks ketika mereka berada dalam hubungan jangka panjang.

Pun, para remaja didorong untuk fokus pada diri mereka sendiri, dan mengemas jadwal mereka dengan kegiatan akademik dan ekstrakurikuler, menyisakan sedikit waktu untuk memiliki hubungan dengan lawan jenisnya.

"Beberapa ahli yang saya ajak bicara menawarkan penjelasan yang lebih lengkap terkait penurunan seks. Misalnya, tingkat pelecehan seksual masa kanak-kanak yang menurun dalam beberapa dekade terakhir, dan pelecehan dapat mengakibatkan perilaku seksual dewasa sebelum waktunya dan seks bebas," jelas Julian.


(cap/cap)
Saksikan video di bawah ini:

Video: RI Jadi Negara Pengguna AI Tertinggi di Asia Tenggara