Bikin Dag Dig Dug! Semua Mata Dunia Kini Tertuju ke China

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
24 January 2023 08:40
Mata uang yuan
Foto: Reuters

Jakarta, CNBC Indonesia - Dibukanya kembali aktivitas di China setelah tiga tahun penuh menjalankan lockdown, membawa ekonomi global tidak akan terlalu buruk. Namun, tidak terlalu buruk belum berarti baik.

Hal di atas adalah pandangan terbaru dari International Monetary Fund (IMF), yang diungkapkan langsung oleh Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva.

Georgieva memandang pertumbuhan ekonomi dunia akan membaik seiring dengan inflasi yang diprediksi akan mulai turun.

"Pembukaan kembali China akan mendorong pertumbuhan global," ujarnya dalam diskusi panel di World Economic Forum 2023 di Davos, Swiss, dikutip dari CNBC International, Selasa (24/1/2023).

IMF memperkirakan ekonomi China tahun ini akan mencapai 4,4% (year on year/yoy), melampaui prospek ekonomi global tahun ini yang mencapai 2,7%.

Pada pertemuan tersebut, Georgieva mengatakan perlu adanya rasa optimisme, namun tetap hati-hati akan masa depan ekonomi global.

Inflasi diperkirakan akan melandai dan pertumbuhan akan melaju dalam level yang moderat, bukan resesi terus-menerus seperti yang diprediksi sebelumnya.

"Yang positif adalah kami telah melihat secara nyata kekuatan pasar tenaga kerja yang diterjemahkan ke dalam pengeluaran konsumen dan menjaga perekonomian tetap tinggi," ujarnya.

Di sisi yang lain, Georgieva juga menyoroti adanya risiko yang sedang berlangsung. Bangkitnya ekonomi China akan mengakibatkan harga minyak dan gas yang lebih tinggi. sehingga memberi tekanan pada inflasi. Serta perang antara Rusia dan Ukraina masih akan merusak kepercayaan global, khususnya di Eropa.

Catatan kehati-hatian terbesar IMF adalah pasar tenaga kerja kemungkinan masih belum akan pulih, imbas dari suku bunga yang belum terlalu 'menggigit' secara signifikan dalam menekan inflasi.

"Jika mereka (inflasi) menggigit lebih lebih parah, maka kita bisa melihat pengangguran meningkat. Dan sangat berbeda bagi konsumen yang mengalami krisis biaya hidup dan memiliki pekerjaan, daripada mengalami krisis biaya hidup dan tidak memiliki pekerjaan," ujar Georgieva.

Sehingga, seluruh pemangku kebijakan di dunia, kata Bos IMF tersebut harus melihat kemungkinan angka pengangguran yang meningkat, di saat ruang fiskal pemerintahan mulai ketat.

Dana fiskal yang mulai ketat akan membuat pemerintah hanya memiliki ruang yang sempit untuk membantu masyarakat. Namun, mereka tetap harus dituntut untuk melindunginya.

Demi menjaga ekonomi global tetap terintegrasi, para pemangku kepentingan di seluruh dunia diminta untuk tetap mengambil sikap pragmatis dan berkolaborasi.

Sementara itu, World Bank dalam laporannya bertajuk Global Economic Prospects edisi Januari 2023, mengungkapkan pertumbuhan global diperkirakan akan melambat tajam menjadi 1,7% di tahun ini.

Outlook ekonomi global 2023 yang mencapai 1,7% tersebut adalah laju pertumbuhan terlemah ketiga dalam hampir tiga dekade, dan lebih rendah 1,3% poin dari perkiraan sebelumnya.

"Karena dibayangi oleh resesi global yang disebabkan oleh pandemi dan krisis keuangan global," jelas World Bank.

Amerika Serikat, Kawasan Eropa, dan China, diperkirakan akan mengalami periode pelemahan ekonomi yang nyata, dan limpahan yang memperburuk tantangan lain yang dihadapi oleh negara dan ekonomi berkembang.

Kombinasi dari pertumbuhan yang lambat, pengetatan kondisi keuangan, dan utang yang berat cenderung melemahkan investasi dan memicu gagal bayar perusahaan.

Guncangan negatif lebih lanjut, seperti inflasi yang lebih tinggi, kebijakan yang bahkan lebih ketat, tekanan keuangan, pelemahan yang lebih dalam di ekonomi utama, atau meningkatnya ketegangan geopolitik, dapat mendorong ekonomi global ke dalam resesi.

"Dalam waktu dekat, diperlukan upaya global yang mendesak untuk memitigasi risiko resesi global dan kesulitan utang di negara dan ekonomi berkembang," tulis World Bank.

Mengingat ruang kebijakan yang terbatas, sangat penting bagi pembuat kebijakan nasional untuk memastikan bahwa setiap dukungan fiskal difokuskan pada kelompok rentan, ekspektasi inflasi tetap terjaga dengan baik, dan sistem keuangan tetap tangguh.

Kebijakan juga diperlukan untuk mendukung peningkatan besar dalam investasi negara dan ekonomi berkembang, yang dapat membantu membalikkan perlambatan pertumbuhan jangka panjang.

"Ini akan membutuhkan pembiayaan baru dari komunitas internasional dan dari penggunaan kembali pengeluaran yang ada, seperti subsidi pertanian dan bahan bakar," jelas World Bank.

Adapun, World Bank memperkirakan pertumbuhan ekonomi di China pada 2023 akan berada pada kisaran 4,3% pada 2023, karena adanya pencabutan kebijakan zero Covid-19, sehingga akan meningkatkan permintaan konsumsi.

Outlook pertumbuhan ekonomi China oleh Bank Dunia tersebut menurun 0,9% poin dari prakiraan sebelumnya.

"Gangguan berkelanjutan dari Covid-19, peristiwa cuaca ekstrem, dan tekanan sektor real estate yang berkepanjangan merupakan penyebab penurunannya," jelas World Bank.

ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO) dalam laporan terbarunya, memandang harus melihat secara hati-hati pembukaan aktivitas di China.

Seperti diketahui, China mengumumkan tidak akan lagi menerapkan karantina wajib dan pelacakan kontak bagi para pelancong yang masuk ke negaranya,sejak 8 Januari 2023.

Adapun Hong Kong mencabut semua pembatasan perjalanan bagi pelancong yang datang, mulai dari 29 Desember 2022, sejalan dengan dibukanya kebijakan di China daratan.

"Pemulihan ekonomi China bisa lebih lambat dari yang diharapkan," tulis AMRO dalam laporan edisi Januari 2023, dikutip Selasa (24/1/2023).

Potensi pertumbuhan ekonomi di China yang lebih lambat, dengan menengok pengalaman China dalam mengantisipasi lonjakan kasus Covid-19 tiga tahun silam.

Kembalinya langkah-langkah penahanan yang ketat berpotensi menyebabkan gelombang penghentian produksi dan penundaan penanganan pelabuhan di China seperti yang terjadi di Ningbo dan Shanghai tahun lalu.

"Situasi epidemiologis Covid-19 yang memburuk dengan cepat di China dapat membuat pihak berwenang memperketat tindakan penahanan untuk menghindari sistem perawatan kesehatan yang berlebihan," jelas AMRO.

"Berulangnya gangguan rantai pasokan tersebut akan menyempitkan arus perdagangan intra regional dan melemahkan pertumbuhan regional," jelas AMRO lagi.

Pembukaan kembali China menghilangkan risiko resesi, namun dorongan dari pembukaan kembali China memunculkan kekhawatiran bagi Indonesia.

Menteri Keuangan periode 2013-2014 Muhammad Chatib Basri mengungkapkan, pembukaan kembali (reopening) China dari kebijakan nol Covid-19 atau Zero Covid Policy akan memberikan dampak positif pada dunia dalam jangka menengah dan panjang.

Namun, dalam jangka menengah panjang, pembukaan kembali China akan berimplikasi pada harga-harga komoditas yang menurun, termasuk harga komoditas energi.

Penurunan harga-harga ini, kata Chatib Basri, akan berimplikasi langsung terhadap kinerja ekspor tanah air.

"Hal yang perlu diantisipasi Indonesia adalah penurunan harga komoditas dan energi akan berdampak pada komoditas ekspor Indonesia," ujar Chatib dalam laman instagramnya, dikutip Selasa (24/1/2023).

Kendati demikian, Chatib memastikan pelemahan kinerja ekspor Indonesia tidak akan membuat perekonomian Indonesia anjlok dalam hingga mengalami resesi.

Pasalnya, porsi nilai ekspor terhadap total produk domestik bruto (PDB) Indonesia hanya 25%.

"Maka dampaknya akan sangat terbatas karena itu saya masih berpendapat bahwa probabilitas resesi terhadap Indonesia masih relatif kecil," tuturnya.

"Hal lain yang perlu diperhatikan adalah kenaikan bunga yang tentu akan berdampak pada balance sheet effect di Indonesia," kata Chatib lagi. 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular