'Naga Asia' Bangkit, RI Jangan Happy Dulu Deh!

News - Anisa Sopiah, CNBC Indonesia
20 January 2023 07:35
FILE PHOTO: A worker drives a truck carrying a container at a logistics center near Tianjin port, in Tianjin, China December 12, 2019.   REUTERS/Yilei Sun/File Photo Foto: Seorang pekerja mengendarai truk yang membawa kontainer di pusat logistik dekat pelabuhan Tianjin, di Tianjin, China (12/12/2019). (REUTERS/Yilei Sun)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pembukaan kembali ekonomi China menjadi isu yang menuai sorotan dari pemimpin dunia, politisi, ekonom hingga pengusaha yang tengah berkumpul di World Economic Forum, Davos, minggu ini.

Di tengah prospek ekonomi global yang suram pada tahun 2023 dan seterusnya, pemulihan ekonomi China yang terus meningkat menyusul pelonggaran Zero Covid Policy menjadi harapan untuk pertumbuhan ekonomi dan globalisasi yang tengah diancam fregmentasi.

China mungkin telah menandai satu tahun pertumbuhan ekonomi terburuk dalam catatan, tetapi data jangka pendek Negeri Tirai Bambu menunjukkan pemulihan yang lebih baik dan lebih cepat dari yang diharapkan.

Seperti diketahui, perekonomian China hanya tumbuh 3% selama 2022. Ini adalah tingkat pertumbuhan paling lambat kedua yang pernah terlihat sejak 1976.

Namun, data ekonomi triwulanan dan bulanan, semuanya melebihi ekspektasi, meskipun investor semakin khawatir atas lonjakan infeksi yang terlihat secara nasional karena China mencabut beberapa pembatasan Covid yang ketat untuk membuka kembali ekonominya.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan bahwa penghapusan Kebijakan Nol-Covid (Zero Covid Policy) di Tiongkok diprakirakan akan menahan perlambatan pertumbuhan ekonomi global. Meskipun demikian, BI tetap memangkas proyeksi pertumbuhan global.

"Bank Indonesia menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2023 menjadi 2,3% dari prakiraan sebelumnya sebesar 2,6%," kata Perry dalam konferensi pers hasil RDG BI, dikutip Jumat (20/1/2023).

Lantas, bagaimana nasib Indonesia jika ekonomi China bangkit kembali?

Perry melihat ekspor RI akan tumbuh lebih rendah akibat melambatnya ekonomi global, tetapi ekspor akan termoderasi dengan permintaan dari Tiongkok. Namun, BI tidak mengungkapkan secara spesifik apakah kebangkitan China akan mendorong investasi asing ke Indonesia.

Ekonom CSIS Deni Friawan sejalan dengan BI. Menurutnya, hal ini akan mendorong permintaan ekspor dari Indonesia dan penyediaan input atau barang antara yang dibutuhkan oleh Indonesia untuk konsumsi di dalam negeri ataupun diekspor kembali.

Lebih lanjut, dia memandang pemulihan aktivitas ekonomi China dan produksi perusahaan-perusahaan di sana memang tentunya akan meningkatkan permintaan akan energi dan bahan baku. Kondisi ini bisa menjadi momentum bagi komoditas andalan Indonesia, seperti nikel dan batu bara.

"Perbaikan ekonomi China juga dapat mendorong peningkatan masuknya investasi asing dari China ke Indonesia," kata Deni kepada CNBC Indonesia.

Namun, Deni mengingatkan pemulihan ekonomi China mungkin bisa juga berpotensi berdampak negatif bagi Indonesia dalam bentuk peningkatan impor dari China dan defisit perdagangan.

"Selain itu, hal ini juga berpotensi memperlambat relokasi usaha dari multinational companies ke negara-negara lain, termasuk Indonesia," ujarnya.

Direktur Eksekutif Core Indonesia M. Faisal mengungkapkan kekhawatiran bangkitnya China bagi ekonomi Indonesia lebih mengarah ke sisi impor, ketimbang ekspor.

"Dari sisi impor juga ada bisa jadi ini berdampak yang sebaliknya, jadi yang bisa meningkatkan pula impor Indonesia dari China terutama di produk jadinya," kata Faisal.

Di sisi lain, Faisal juga mengkhawatirkan persaingan di produk industri manufaktur Indonesia jika China bangkit, sementara pasar potensial seperi Eropa dan AS masih 'tertidur'.

"Kalau kemudian persaingannya jadi meningkat dengan meningkatnya juga impor dari China nah ini justru malah memberikan dampak buruk ya bagi industri domestik terutama di sektor yang bersangkutan," paparnya.

Ekonom INDEF Eko Listiyanto juga mengungkapkan hal serupa. Menurut Eko, ekspansi ekonomi China juga akan mendesak produk-produk Industri di Indonesia.

Hal ini karena produk China harganya lebih kompetitif, sehingga pelaku industri perlu waspada pasarnya digerus produk China.

"Ini artinya Defisit dagang dengan China 2022 lalu sebesar US $3,61 miliar bisa saja meningkat, meskipun dari sisi komoditas/raw material permintaan China juga akan naik," tegasnya.


[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya

Ekspor dan Impor Meledak di Agustus, September Pesta Usai?


(haa/haa)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Terpopuler
    spinner loading
LAINNYA DI DETIKNETWORK
    spinner loading
Features
    spinner loading