Soeharto Gagal Garap 'Raksasa' Food Estate, Jokowi Nyusul?
Jakarta, CNBC Indonesia - Sejak 2020, pemerintah mengeluarkan kebijakan program Food Estate atau lumbung pangan. Program ini bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan dalam negeri. Caranya dengan mengubah kawasan perhutanan dan semak belukar menjadi lahan pertanian.
Kebijakan ini menuai reaksi keras dari para aktivis. Mereka menilai program yang dikomandoi oleh Kementerian Pertahanan di bawah Prabowo Subianto dan Kementerian Pertanian bakal merusak hutan dan bakal mandek karena tanah di kawasan perhutanan tak cocok ditanami padi. Namun, pemerintah tutup telinga. Proyek jalan terus.
Kemarin, Senin (16/1/2023), dalam rapat kerja DPR dengan Menteri Pertanian, prediksi para aktivis itu seolah terbukti. Program food estate atau lumbung pangan di beberapa daerah gagal dan tidak mencapai target. Fakta ini menjadi ironi sebab program yang menjadi proyek strategis nasional ini sudah menghabiskan anggaran yang tidak sedikit.
Sesungguhnya kegagalan ini sudah bisa ditebak. Sebab, sejarah telah mencatat kalau program lumbung pangan yang dicanangkan pemerintah kenyataannya pernah gagal.
Melacak program ketahanan pangan di Indonesia dapat ditarik mundur 30 tahun sebelumnya. Pada tahun 1990-an, Presiden Soeharto menjadi penguasa pertama yang mencanangkan program ini. Program ambisius ini bernama Mega Rice Project. Lewat kebijakan ini, Soeharto ingin mengubah rawa gambut di Kalimantan Tengah menjadi tempat pengembangan produksi beras. Diproyeksikan ada sejuta lahan gambut yang bakal disulap.
Menurut Jenny Goldstein dalam "Carbon Bomb: Indonesia's Failed Mega Rice Project" (2016), para ilmuwan sebetulnya sudah berpikir kalau Mega Rice Project bakal gagal. Faktor kondisi tanah menjadi penyebab utamanya. Namun mereka tak berdaya menahan ambisi Soeharto.
"Proyek ini dilakukan tanpa adanya konsultasi dan analisa sehingga berakhir dengan kegagalan besar. Setelah lahan dibuka dan padi ditanam baru diketahui kalau tanah gambut terlalu asam dan kekurangan nutrisi yang diperlukan untuk pertumbuhan padi," catat buku Menelan Hutan Indonesia
Alhasil, pemerintah menelan kerugian yang amat besar. Masyarakat lokal tersisih. Hutan dihabisi dan kemudian menjadi awal dari bencana lingkungan terbesar di akhir abad ke-20.
"Yang tersisa dari program ini adalah tanah gambut yang mengering. Alhasil, ketika musim kemarau tanah gambut ini terbakar. Kebakaran tanah gambut telah menyebabkan polusi udara yang parah dan krisis kesehatan masyarakat diseluruh Asia. Pada 1997 terjadi musim kebakaran selama enam bulan yang mengejutkan dunia dengan foto-foto hutan dan desa yang membara, termasuk orang utan terbakar," catat penulis buku Menelan Hutan Indonesia
Tak berhenti sampai disini. Kegagalan ini rupanya tak dijadikan pembelajaran bagi pemerintahan selanjutnya. Pada 2010, Presiden SBY meluncurkan program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Tujuannya adalah menjamin swasembada Indonesia dalam hal pangan dan energi.
Pertentangan pun bermunculan. Argumentasinya berkutat pada program yang Jawasentris. Program ini bertujuan untuk menciptakan lahan pertanian yang menghasilkan beras, tebu, dan minyak sawit untuk penduduk di Jawa, bukan Papua. Dampaknya, masyarakat Papua yang makan sagu kehilangan sumber pangan utamanya karena ulah pemerintah.
Pada akhirnya, seperti yang sudah ditebak, proyek ini telah gagal memproduksi tumbuhan pangan dalam jumlah besar.
Perlu dipahami, keberadaan hutan jangan dianggap kosong. Justru hutan adalah lahan yang paling berharga di dunia karena di dalamnya terdapat ratusan bahkan ribuan makhluk hidup, termasuk juga kelompok masyarakat adat. Penduduk dan masyarakat adat setempat telah mengalami hilang dan musnahnya tanah tradisi mereka dan dibiarkan sendiri untuk menghadapi rasa lapar dan pudarnya budaya mereka.
(mfa/mfa)