Bakal Jadi Negara Terpadat Dunia, India Menyimpan 'Bom Waktu'
Jakarta, CNBC Indonesia - India diprediksi akan menjadi negara dengan populasi terbesar di dunia dalam waktu dekat ini. Kemungkinan ini melonjak pada Selasa kemarin, ketika negara terpadat dunia, China, melaporkan bahwa populasinya menyusut pada 2022 untuk pertama kalinya dalam lebih dari 60 tahun.
Seiring dengan data populasi, China juga melaporkan salah satu angka pertumbuhan ekonomi terburuknya dalam hampir setengah abad. Tercatat, pertumbuhan ekonomi Negeri Tirai Bambu hanya berada di angka 3%.
Di sisi lain, bagi India, apa yang oleh para ekonom dan analis disebut sebagai 'dividen demografis' dapat terus mendukung pertumbuhan pesat seiring dengan meningkatnya jumlah pekerja sehat.
Namun, ada kekhawatiran negara itu akan tertinggal. Itu karena India sama sekali tidak menciptakan lapangan kerja bagi jutaan pencari kerja muda yang sudah memasuki dunia kerja setiap tahun.
Populasi usia kerja negara Asia Selatan itu mencapai lebih dari 900 juta, menurut data 2021 dari Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Adapun menurut pemerintah India, jumlah ini diperkirakan akan mencapai lebih dari 1 miliar selama dekade berikutnya.
Tetapi angka-angka ini bisa menjadi beban jika pembuat kebijakan tidak menciptakan lapangan kerja yang cukup. Data menunjukkan makin banyak orang India bahkan tidak mencari pekerjaan, mengingat kurangnya kesempatan dan upah rendah.
Tingkat partisipasi angkatan kerja India, perkiraan tenaga kerja aktif dan orang yang mencari pekerjaan, mencapai 46%, termasuk yang terendah di Asia, menurut data tahun 2021 dari Bank Dunia. Sebagai perbandingan, untuk China dan Amerika Serikat (AS) masing-masing mencapai 68% dan 61% pada tahun yang sama.
Bagi wanita, angkanya bahkan lebih memprihatinkan. Tingkat partisipasi kerja perempuan India hanya 19% pada tahun 2021, turun dari sekitar 26% pada 2005, menurut data Bank Dunia.
"India sedang duduk di atas bom waktu. Akan ada keresahan sosial jika tidak dapat menciptakan lapangan kerja yang cukup dalam waktu yang relatif singkat," kata profesor perilaku organisasi di Indian School of Business, Chandrasekhar Sripada kepada CNN International, dilansir Rabu (18/1/2023).
Pusat Pemantauan Ekonomi India (CMIE) mencatat bahwa pengangguran India pada bulan Desember mencapai 8,3%. Ini jauh dibandingkan negara seperti AS yang mencatat pengangguran di level 3,5%.
"India memiliki populasi kaum muda terbesar di dunia... Tidak ada kelangkaan modal di dunia saat ini. Idealnya, India harus mengambil peluang langka ketersediaan tenaga kerja dan modal yang mudah ini untuk mendorong pertumbuhan yang cepat. Namun, sepertinya India ketinggalan bus," tambah CEO CMIE, Mahesh Vyas.
Kurangnya pendidikan berkualitas tinggi adalah salah satu alasan terbesar di balik krisis pengangguran India. Sripada menyebut ini disebabkan lembaga-lembaga India menekankan 'belajar hafalan' daripada 'pemikiran kreatif'.
Sebagai akibat dari kombinasi dari pendidikan yang buruk dan kurangnya pekerjaan, ribuan lulusan perguruan tinggi, termasuk mereka yang bergelar doktor, akhirnya melamar pekerjaan kasar seperti office boy, yang bergaji kurang dari US$ 300 (Rp 4,5 juta) per bulan.
"Kabar baiknya adalah pembuat kebijakan telah menyadari masalah ini dan mulai memberikan penekanan yang masuk akal pada penciptaan keterampilan sekarang. Tapi itu akan memakan waktu bertahun-tahun sebelum dampak dari kebijakan baru dapat terlihat," jelas Sripada lagi.
Perekonomian terbesar ketiga di Asia juga perlu menciptakan lebih banyak pekerjaan non-pertanian untuk mewujudkan potensi ekonominya secara penuh. Menurut data pemerintah baru-baru ini, lebih dari 45% tenaga kerja India dipekerjakan di sektor pertanian.
"Negara ini perlu menciptakan setidaknya 90 juta pekerjaan non-pertanian baru pada tahun 2030 untuk menyerap pekerja baru. Banyak dari pekerjaan ini dapat diciptakan di sektor manufaktur dan konstruksi," menurut laporan tahun 2020 oleh McKinsey Global Institute.
(luc/luc)