CNBC Indonesia Research

RI Negeri Agraris Suka Tempe, Tapi Getol Impor Kedelai

Muhammad Azwar, CNBC Indonesia
17 January 2023 08:30
Pekerja menyelesaikan pembuatan tahu di Pabrik Tahu di kawasan Jakarta, Jumat (14/10/2022). (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
Foto: Pekerja menyelesaikan pembuatan tahu di Pabrik Tahu di kawasan Jakarta, Jumat (14/10/2022). (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Banyak paradok pada sektor pangan Indonesia, salah satunya kedelai. Negara agraris dengan lahan tanam sangat luas, konsumsi tinggi pada makanan berbahan kedelai, namun terus menerus impor sejak reformasi 1998--sepanjang 25 tahun!

Tempe dan tahu yang berbahan utama kedelai adalah makanan rakyat. Sumber protein nabati bagi 273 juta rakyat Indonesia. Kedelai sudah sangat erat hubungannya dengan Indonesia.

Sejarahnya panjang, dari mulai diintroduksi ke tanah air lalu dibudayakan sampai menjadi menu makanan sehari-hari. Sejarawan Ong Hok Ham dalam buku Tempe Sumbangan Jawa untuk Dunia (2000) mengungkap, keberadaan kedelai di Eropa maupun di Indonesia telah ada sejak abad ke-19.

Tempe juga makanan favorit Bung Karno, seperti dituturkan sejumlah buku sejarah. Pada sekitar Maret 2019, selebritis Boy William dalam sebuah acara santai di istana mewawancarai Presiden Joko Widodo juga mengungkapkan, kesukaan orang nomor satu termasuk diantaranya tahu dan tempe. Tempe, bukan hanya makanan orang kalangan bawah, tapi semua.

Paradoknya, sebagai negara agraris, Indonesia memiliki luas lahan kedelai mini, hanya 142 ribu hektar. Ini cuma sepersekian persen dari luas lahan sawah (padi) sekitar 10 juta hektar. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat produksi kedelai nasional pada 2021 cuma 200 ribu ton per tahun, nyaris tidak bertambah sejak 2020, dengan rata-rata produktivitas hanya 1,56 ton/ha pada 2021.

 

Dari data di atas, tiga kawasan utama Amerika Utara memiliki produktivitas kedelai yang lebih tinggi dari Indonesia, yang hanya mampu sedikit melampaui nilai produktivitas Rusia.

Sementara itu, data resmi dalam negeri menunjukkan sejak lima tahun terakhir produksi kedelai nasional terus merosot. Hal ini tidak terlalu mengagetkan melihat luas panen untuk kedelai sendiri juga setiap tahunnya tergerus. Meski sempat naik pada 2018, namun tren produksi kedelai terus terkikis setiap tahunnya dan bahkan turun drastis 67% tahun 2021. Penurunan sejalan dengan tren area luas panen kedelai yang setiap tahunnya mengkerut.

 

Menurut Kementerian Pertanian, jumlah produksi kedelai yang menciut terjadi akibat persaingan ketat penggunaan lahan dengan komoditas strategis lain, seperti jagung dan cabai. Imbasnya ada penurunan luas panen kedelai sekitar 5% per tahun, lebih tinggi dibandingkan proyeksi produktivitas kedelai yang naik 2% per tahun.

Selain itu, kadang-kadang harga kedelai di pasar internasional juga lebih rendah dibandingkan dengan harga di pasar dalam negeri, sehingga mengimpor kedelai dapat menjadi pilihan yang lebih menguntungkan bagi produsen di Indonesia.

Produksi kedelai yang minim, berbanding dengan permintaan yang terus naik. pada 2021 kebutuhan kedelai mencapai 2,7 juta ton, sehingga selisih banyak itu menjadi dasar keluarnya izin impor. Sepanjang tahun itu Indonesia mengimpor 2,49 juta ton kedelai, naik dari 2,47 juta ton tahun sebelumnya.

Fakta menyedihkannya, Indonesia bahkan harus mengimpor dari Malaysia yang dari sisi kualitas tanah dan iklim sama, namun memiliki jumlah luas lahan yang jauh lebih sedikit.

Dugaan Kartel

Data Kementan dan Gabungan Koperasi Produsen Tempe dan Tahu Indonesia (Gakoptindo) mencatat, Indonesia pernah swasembada kedelai pada tahun 1992, dimana pada waktu itu luas lahan kedelai mencapai 1,889 juta hektar dengan produksi mencapai hampir dua juta ton.

Asal usul impor kedelai bisa dipersalahkan pada kebijakan Presiden Soeharto yang terpojok oleh syarat utang dari Dana Moneter Internasional pada 1998. Dalam nota kesepakatan, disebutkan Indonesia perlu membuka pasar bagi komoditas kedelai, dan memangkas subsidi pupuk. Ini mengakibatkan, produktivitas menjadi rendah, dan masuknya kedelai impor yang secara kualitas lebih bagus.

Sejak saat itu, entah ada misi terselubung apa dari syarat IMF, namun Indonesia menjadi keranjingan impor kedelai dari Amerika Serikat. Sampai saat ini, lebih dari dua juta kedelai asal Negeri Paman Sam membanjiri tanah air. Pengimpor kedelai di Indonesia, selain Bulog adalah PT Gerbang Cahaya Utama dan PT Cargill Indonesia. PT Cargill Indonesia adalah bagian dari Cargill Incorporated yang berasal dari Amerika. Mereka sudah bercokol di tanah air sejak 1973.

Faktanya, bahkan Bulog saja hanya makelar karena impor kedelai mereka dilakukan oleh pihak ketiga, swasta. Hal ini mengemuka pada rapat dengar pendapat (RDP) DPR bersama Perum Bulog dan Badan Pangan Nasional (Bapanas) pada Rabu, 16 November 2022. Bulog Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso membenarkan dan mengungkap tata niaga impor kedelai dikuasai oleh tiga perusahaan swasta.

Ini memunculkan isu kartel kedelai yang menjadi sumber masalah mahalnya harga kedelai, dan bahkan sengaja membuat produksi kedelai dalam negeri rendah. Isu ini bergilir, namun tidak jelas benar atau tidak. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Namun, kenaikan harga kedelai menjadi persoalan laten yang terjadi tiap tahun, terlebih ketika kurs rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat. Selain menekan margin pengrajin, juga menyengsarakan konsumen.

 

Problematika kedelai tampaknya tidak bisa lagi diselesaikan secara adhoc. Mengubah tata niaga impor juga tidak akan memecahkan masalah, karena problem utamanya adalah produktivitas tanam kedelai. Pemerintah perlu meniru cerita sukses swasembada kedelai 1992, dengan mendorong perluasan lahan tanam.

Selanjutnya, peran Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) perlu dimaksimalkan untuk mencari jalan keluar, terobosan teknologi pertanian baik metodologi tanam, maupun bibit. Termasuk juga irigasi dan lain sebagainya. Ini tampaknya menjadi solusi utama yang perlu dikedepankan, terlebih isu krisis pangan global semakin lama semakin kencang. Indonesia, sebagai negeri agraris, tidak pantas untuk terkena krisis itu.

Tim Riset CNBC Indonesia

 


(mum/mum)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Dolar Mengamuk, Harga Tahu Tempe Ikutan 'Terbang'

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular