Wajib Baca! Ramalan Ekonomi 2023 dari 5 Bank Top Dunia
Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonomi global pada 2023 tidak baik-baik saja. Sejumlah tantangan masih akan membayangi, mulai dari perang Rusia dan Ukraina yang tak berujung, pengetatan suku bunga di negara maju hingga efek pelemahan ekonomi akibat kebijakan moneter dan inflasi akan membayangi.
Negara-negara seperti China, Eropa, Inggris dan Amerika Serikat (AS) kerap menjadi sorotan banyak pihak. Tidak terkecuali, bank raksasa dunia yang membagikan ramalan ekonomi 2023.
Menurut mereka, perekonomian global tahun ini diprediksi akan mengalami perlambatan yang cukup signifikan. Negara-negara yang disebutkan di atas adalah mereka yang akan terancam memicu kondisi pelemahan di 2023 ini.
Berikut ini, CNBC Indonesia merangkum ramalan lima bank besar dunia terkait dengan kondisi ekonomi 2023:
1. Citibank
Citibank memperkirakan pertumbuhan ekonomi global tahun ini hanya tumbuh pada level 1,7%. "Kami memperkirakan pertumbuhan global akan memburuk untuk beberapa tahun 2023," tulis Citibank dalam laporan yang berjudul "Wealth Outlook 2023 Roadmap to Recovery: Portfolios to Anticipate Opportunities", dikutip Selasa (10/1/2023).
Bahkan, kedua sumber penopang perekonomian global, Uni Eropa dan Inggris pertumbuhan ekonominya akan berada pada level negatif di mana masing-masing -0,5% dan -1,0%.
"Memang, pertumbuhan global tahunan 1,7% yang kami perkirakan kemungkinan akan menjadi yang terlemah dalam empat puluh tahun di luar tahun Krisis Keuangan Global 2009 dan tahun penghentian Covid 2020," tulis laporan itu.
"Di antara ekonomi utama, zona euro dan Inggris kemungkinan besar akan keluar terburuk, dengan kontraksi setahun penuh masing-masing sebesar 0,5% dan 1% karena bersaing dengan biaya energi yang sangat tinggi, serta pengetatan kebijakan," lanjutnya.
Sementara itu, China terlihat selangkah lebih maju dari AS, diperkirakan tumbuh sebesar 4,5%. Di tengah pasar tenaga kerja yang lemah dan krisis real estate, ekonomi terbesar kedua di dunia ini sudah dalam mode pelonggaran moneter.
"Setelah dua tahun yang suram, kami memperkirakan keuntungan China akan meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah uang beredar, seperti halnya kontrak keuntungan AS dan jumlah uang beredar," tulis laporan itu.
Di sisi lain, ekonomi Amerika Serikat (AS) diprediksi akan tumbuh sekitar 0,7%. Citibank membaca kemungkinan besar AS memasuki resesi ringan dan tingkat pengangguran mungkin naik melebihi 5%. Untuk inflasi pada 2023, Citibank memperkirakan akan turun namun tidak mungkin mencapai level pra-Covid.
"Kami melihatnya turun menjadi 3,5% pada akhir tahun 2023 dan 2,5% pada akhir tahun 2024, sementara rata-rata lebih tinggi selama tahun-tahun kalender tersebut," jelasnya.
Sementara itu, mereka menilai negara-negara lain di wilayah Asia-Pasifik yang rentan terpapar siklus global mungkin masih akan mengalami tekanan pada 2023, seperti Korea, Taiwan, dan Australia, di mana pendapatan diperkirakan akan turun pada tahun 2023. Serta Citibank memperkirakan ledakan komoditas yang dirasakan Indonesia pada 2022 kemungkinan besar memudar pada 2023.
"Keunggulan komoditas Indonesia juga dapat memudar pada tahun 2023," tulis laporan tersebut. "Konon, harga komoditas dan barang lainnya dapat turun pada tahun 2023 jika AS atau Eropa memasuki resesi," ramalnya.
2. HSBC
Dalam laporan berjudul "Investment Outlook Q1 2023 Looking for the Silver Lining", HSBC memprediksi perlambatan ekonomi global akan terjadi di tahun ini, seiring dengan perlambatan di negara-negara Eropa dan Inggris bahkan diperkirakan akan masuk ke jurang resesi.
Lebih lanjut, meskipun AS diprediksi akan lebih mampu menghindari resesi, namun mereka membaca kemungkinan dalam satu hingga dua kuartal AS akan mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif.
"Zona Eropa dan Inggris akan mengalami resesi, dan meskipun AS lebih tangguh, pertumbuhan di sana juga di bawah normal, dan kita mungkin melihat satu atau dua kuartal negatif pertumbuhan AS pada tahun 2023," tulis laporan tersebut, dikutip Selasa (10/1/2023).
HSBC melihat kemungkinan tingkat inflasi akan turun pada 2023 seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang melambat, karena melihat berbagai harga bahan baku sudah mulai menunjukkan penurunan akhir-akhir ini.
"Pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat akan secara bertahap menyebabkan inflasi turun, dan angka CPI AS bulan Oktober memicu harapan ke arah ini. Ada berita bagus minyak, gas alam, dan biaya transportasi sudah turun, dan kekurangan semikonduktor berkurang," tulisnya.
Penurunan ini berkontribusi terhadap inflasi harga barang yang lebih rendah yang menurut kami akan terus mereda.
Kendati demikian, HSBC melihat masih ada beberapa item yang berkemungkinan masih berada pada level harga yang tinggi yakni terkait dengan harga sewa (yang tertinggal dari harga rumah) dan jasa, pasalnya hal ini didorong oleh pasar tenaga kerja yang masih kuat.
Sementara itu, HSBC memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga menjadi 5% di kuartal 1 dan akan tetap di sekitar level tersebut hingga 2023 dan 2024.
"Jadi, meskipun inflasi akan turun pada tahun 2023, namun itu tidak mungkin mendekati target bank sentral 2%. Itu berarti bahwa bank sentral belum selesai dengan kenaikan suku bunga mereka, dan banyak yang ingin mempertahankan suku bunga mereka di wilayah terbatas untuk memastikan naga inflasi benar-benar terbunuh," jelasnya.
terkait dengan sektor komoditas, HSBC memprediksi momentum ledakan komoditas seperti emas, perak, dan minyak perlahan akan mulai meredam di tahun ini.
"Terlepas dari kenaikan harga komoditas baru-baru ini, kami tidak memperkirakan emas dan perak akan unggul dalam beberapa bulan mendatang. Kekuatan USD baru-baru ini telah membebani pada kedua logam tersebut, sementara suku bunga yang lebih tinggi dan imbal hasil obligasi telah menciptakan kerugian kompetitif untuk emas dibandingkan menjadi uang tunai dan obligasi," ungkap laporan tersebut.
Untuk harga minyak, HSBC penurunannya akan berlanjut. HSBC tidak melihat ada rebound yang kuat tahun ini.
"Pasokan global meningkat karena peningkatan produksi Rusia, tetapi permintaan lebih lemah dari sebelumnya. Pasokan pasar tampaknya cukup untuk saat ini, jadi kami percaya harga akan diperdagangkan miring dalam beberapa bulan mendatang," tegasnya.
3. Credit Suisse
Lebih lanjut, bank asal Eropa Credit Suisse memperkirakan pertumbuhan ekonomi global akan tetap rendah pada tahun 2023 dimana berada di angka 1,6%. Kondisi ini diperkirakan akan membuat tingkat pengangguran naik cukup tinggi.
Hal ini sebagai akibat dari pengetatan moneter yang masih akan terus berlanjut serta kondisi pengaturan ulang geopolitik yang sedang berlangsung. Bahkan, bank ini memproyeksikan negara-negara penopang ekonomi dunia diperkirakan kembali masuk ke jurang resesi.
"Kami memperkirakan zona Eropa dan Inggris tergelincir ke dalam resesi, sementara China berada dalam pertumbuhan resesi" tulis laporan Credit Suisse berjudul "Investment Outlook 2023" dikutip Selasa (10/1/2023).
Credit Suisse melihat ekonomi negara-negara tersebut akan mengalami titik terendah pada pertengahan 2023, dan akan mulai perlahan pulih seiring dengan kondisi perekonomian Amerika Serikat (AS) yang diprediksi tidak akan ikut masuk ke jurang resesi.
Tingkat inflasi melesat tajam pada tahun 2022, namun Bank Credit Suisse menilai untuk tahun 2023 angka inflasi kemungkinan akan turun ke angka normal di kisaran 5%. Namun, tetap berada pada level di atas tahun-tahun pra pandemi dan di atas target bank sentral di banyak negara.
"Asumsi utama kami adalah bahwa itu akan tetap di atas target bank sentral pada tahun 2023 di sebagian besar negara maju utama, termasuk Amerika Serikat, Inggris, dan Zona Eropa," tulis laporan itu.
Terkait nilai tukar, Credit Suisse memperkirakan mata uang negara berkembang secara umum akan berada pada level rendah. Pasalnya, dollar AS tampaknya akan tetap tinggi memasuki tahun 2023 karena The Fed akan tetap memilih kebijakan yang hawkish.
"Kami memperkirakan mata uang negara berkembang akan tetap lemah secara umum," prediksinya.
Dari sisi komoditas, pada awal 2023, Credit Suisse memprediksi permintaan untuk komoditas siklikal mungkin melemah sementara tekanan yang meningkat di pasar energi akan membantu mempercepat transisi energi Eropa.
"Kemunduran harga karbon dapat menawarkan peluang dalam jangka menengah, dan kami pikir latar belakang untuk emas harus membaik ketika normalisasi kebijakan mendekati akhir," tulis laporan tersebut.
(haa/haa)