Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia tertinggal jauh dengan Singapura sebagai pusat perdagangan emas dunia. Negara tetangga sebagai rumah emas di Asia Tenggara bahkan sudah eksis sejak 1960-an.
Rasanya aneh melihat bukan Indonesia sebagai pusat perdagangan emas Asia Tenggara melainkan negara kecil Singapura. Padahal Indonesia memiliki harta kekayaan alam yang melimpah.
Indonesia merupakan pemilik cadangan emas terbesar kelima di dunia, setelah Australia, Rusia, Amerika Serikat, dan Afrika Selatan.
Berdasarkan data USGS 2020 yang diolah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia tercatat memiliki 2.600 ton Au (emas) atau 5% dari total cadangan emas dunia sebesar 50.300 ton Au.
"Indonesia memiliki cadangan emas lima besar di dunia, artinya Indonesia berperan penting dalam penyediaan bahan baku emas dunia," tulis Booklet Emas-Perak 2020 yang dirilis Kementerian ESDM.
Berdasarkan data Badan Geologi Kementerian ESDM hingga akhir 2019, total sumber daya bijih emas Indonesia tercatat mencapai 14,96 miliar ton, sumber daya logam emas sebesar 0,01 juta ton. Sedangkan cadangan bijih emas Indonesia tercatat mencapai 3,57 miliar ton dan cadangan logam 0,005 juta ton.
Meskipun seperti itu, Indonesia mengimpor emas dari Singapura. Pada periode Januari hingga Oktober 2022, jumlah impor emas Indonesia dari Singapura mencapai US$624,07 juta atau atau nyaris Rp10 triliun (kurs=Rp15.635,5/US$).
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan bahwa kebanyakan emas Indonesia dikirim ke Singapura, kemudian dikirim lagi ke Indonesia. Sehingga, hampir seluruh industri emas biayanya adalah tolling fee. Artinya emas yang diimpor oleh Indonesia sebenarnya emas hasil alam di bumi pertiwi.
Hal ini terjadi karena Indonesia tidak memiliki bank emas seperti di Singapura untuk menyimpan cadangan emas. Apalagi negara tetangga memiliki kebijakan bebas pajak sehingga sangat menguntungkan investor.
Singapura telah menjadi rumah emas di Asia Tenggara sejak 1960-an karena memiliki fasilitas dan kebijakan yang digemari oleh para investor dan pedagang logam mulia.
Pada 1969, setelah evolusi global pasar emas bebas dan struktur harga dua tingkat setelah runtuhnya London Gold Pool, Singapura mendirikan pasar emas over the counter (OTC).
Kemudian setelah 10 tahun, tepatnya pada November 1978 sekelompok bank dan pialang emas Singapura membentuk Gold Exchange of Singapore (GES). Adapun anggota pendiri yakni United Overseas Bank (UOB), NM Rothschild & Sons Ltd dan Overseas Chinese Banking Corporation (OCBC).
GES mendaftarkan dua kontrak berjangka emas yang dapat dikirim secara fisik: 100 oz dan 1 kg. GES juga mendirikan lembaga kliringnya sendiri, Singapore Gold Clearing House, yang anggota kliringnya adalah OCBC, UOB, Overseas Union Bank (OUB), DBS Bank Ltd dan Bank of Nova Scotia. Kontrak emas GES melihat minat awal yang kuat tetapi volume perdagangan berkurang pada tahun 1983.
Pada akhir tahun 1983, GES diintegrasikan ke dalam pasar keuangan berjangka baru - Singapore International Monetary Exchange (SIMEX), sebuah kolaborasi antara GES dan International Monetary Market (IMM), sebuah divisi dari Chicago Mercantile Exchange (CME).
Pada tahun 1984, SIMEX meluncurkan kontrak berjangka emas 100 oz yang diselesaikan secara tunai berdasarkan harga loco London.
Peran Singapura sebagai pusat redistribusi emas fisik untuk kawasan ini mencapai rekor pada tahun 1992, ketika impor emas mencapai 414 ton (hampir setengah dari total konsumsi Asia).
Namun, setelah saat itu mengalami penurunan permintaan secara bertahap dan aktivitas dihentikan pada tahun 1996, yang menyebabkannya dihapus pada tahun 1997. SIMEX kemudian bergabung dengan Bursa Efek Singapura pada tahun 1999 untuk membentuk Singapore Exchange (SGX) multi-aset saat ini.
Pada 2010 Asia memiliki rumah penyimpanan emas atau disebut Asia Fort Knox setelah pendirian Singapore Freeport.
Ini adalah gudang berikat dan tidak ada pajak barang dan jasa (GST) saat perdagangan dilakukan di dalam lokasi. Maka dari karena itu, ini merupakan pilihan populer bagi investor bernilai tinggi.
Lokasinya terletak di sebelah Bandara Internasional Changi Singapura, gudang penyimpanan ini memiliki luas 22.000 meter persegi dengan akses langsung ke landasan pacu bandara dan penjaga bersenjata sepanjang waktu.
Pemerintah Singapura mengumumkan pada awal 2012 bahwa perdagangan logam mulia akan dibebaskan dari GST mulai Oktober 1, 2012. Dampaknya, volume impor emas non moneter melonjak 78% dan ekspor meningkat 37% pada 2013 (data dari IE Singapore).
Singapura semakin ambisius untuk menjadikan dirinya sebagai pusat perdagangan logam mulia. Oleh karena itu Internal Enterprise (IE) Singapura mendanai formalisasi Singapore Bullion Market Association (SBMA) dan membantu meningkatkan profilnya di bawah program Pengembangan Perusahaan dan Asosiasi Lokal (LEAD).
Sejak 2017, SBMA telah menyelenggarakan Konferensi Logam Mulia Asia Pasifik (APPMC) tahunannya, sebuah platform bagi komunitas logam mulia untuk mengangkat dan mendiskusikan masalah yang terkait dengan pasar logam mulia Asia Pasifik.
APPMC bertujuan untuk menyediakan peluang jaringan bagi sektor emas batangan, perhiasan, dan pertambangan dari kawasan dan dunia. Delegasi juga dapat mempelajari lebih lanjut tentang pasar baru dan bertemu dengan pelanggan dan pemasok baru dari ASEAN dan Asia melalui konferensi tersebut. SBMA juga menerbitkan buletin triwulanan Crucible untuk mendorong ikatan yang lebih kuat di antara peserta dalam industri dan menciptakan peluang pertumbuhan baru.