Internasional

Maaf Bukan RI! Lokasi Harta Karun US$ 24 T, AS-China Berebut

Tommy Patrio Sorongan, CNBC Indonesia
Rabu, 04/01/2023 20:24 WIB
Foto: Bendera Tiongkok dan AS berkibar di dekat Bund, jelang delegasi perdagangan AS bertemu dengan China di Shanghai, Cina 30 Juli 2019. REUTERS / Aly Song

Jakarta, CNBC Indonesia - Republik Demokratik Kongo (DRC) merupakan wilayah yang kaya akan mineral. Bahkan, cadangan mineral yang terkandung di negara itu diprediksi mencapai US$ 24 triliun dollar.

Dalam laporan Oil Price, DRC sering disebut 'Arab Saudi pada zaman kendaraan listrik' karena menghasilkan sekitar 70% kobalt dunia. Kobalt merupakan komponen kunci dalam produksi baterai lithium-ion yang menggerakkan ponsel, komputer, dan kendaraan listrik.

DRC juga merupakan produsen tembaga terbesar di Afrika dengan beberapa tambang diperkirakan mengandung kadar di atas 3%, jauh lebih tinggi daripada rata-rata global sebesar 0,6%-0,8%.


Tak hanya dari mineral untuk bahan baku, DRC juga baru-baru ini menjadi viral setelah banyaknya warga yang berbondong-bondong mengunjungi sebuah gunung yang memiliki deposit emas yang tinggi.

Akibat jumlah tambang berharga yang banyak ini, DRC pun pernah mengalami perang akibat sesuatu yang dikaitkan sebagai 'Konflik Mineral'. Ini terjadi di wilayah DRC Timur, tatkala kelompok pemberontak yang mendapatkan keuntungan dari deposit emas di area itu membelot dari kekuasaan pemerintah yang berpusat di Kinshasa.

Saat ini, konflik pun telah meluas ke peta geopolitik dunia. Dua negara adidaya besar yakni China dan Amerika Serikat (AS) dilaporkan sedang berebut untuk mendapatkan akses tambang mineral di negara itu.

Pada 13 Desember lalu, AS menandatangani kesepakatan dengan DRC dan Zambia (produsen tembaga terbesar keenam dunia dan produsen kobalt terbesar kedua di Afrika) yang akan membuat AS mendukung kedua negara dalam mengembangkan rantai nilai kendaraan listrik.

"Bank Ekspor-Impor AS dan Korporasi Keuangan Pembangunan Internasional akan menjajaki mekanisme pembiayaan dan dukungan, dan Badan Pembangunan Internasional AS, departemen perdagangan dan Badan Perdagangan dan Pembangunan AS akan memberikan bantuan teknis," ujar Menteri Luar Negeri AS Anthony Blinken.

Di sisi lain, China mendapatkan 60% kebutuhan kobaltnya dari DRC. Namun, hubungan keduanya memanas setelah Kinshasa menghentikan ekspor dari tambang kobalt terbesar kedua dunia setelah perusahaan Beijing, China Molybdenum, membeli saham pengendali dalam tambang tersebut pada tahun 2016 dari perusahaan AS Freeport-McMoRan.

Dengan dorongan AS, tahun lalu Presiden DRC Felix Tshisekedi mulai menuduh para pendahulunya menandatangani kontrak yang berat sebelah dengan perusahaan pertambangan China dan sekarang berusaha untuk menegosiasikan ulang mereka.

Dalam tanda bipartisan yang langka, politisi oposisi Adolphe Muzito yang menjadi perdana menteri pada saat kesepakatan ditandatangani dengan China, juga keluar untuk mendukung negosiasi ulang kesepakatan dengan Beijing.

"China membela kesepakatan itu, dengan mengatakan telah membangun beberapa proyek di negara Afrika Tengah meskipun ada hambatan, meningkatkan pendapatan pajak, menciptakan lebih banyak lapangan kerja, dan menyediakan investasi dalam proyek infrastruktur seperti jalan, rumah sakit, dan pembangkit listrik tenaga air," tambah laporan OilPrice.


(sef/sef)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Taktik Iran Serang Israel Hingga Harga Emas Masih 'Tersungkur'