
Menakar Usaha Pemerintah dalam Ambisi Transisi Energi

Perkuat Infrastruktur Energi Terbarukan
Dalam komitmennya, Pemerintah melalui kementerian ESDM mengalokasikan APBN berfokus kepada alokasi pembangunan fisik di sektor ENTKE sebesar Rp 868,71 miliar untuk memperkuat infrastruktur sektor ESDM berbasi energi baru dan terbarukan (EBT).
Dari telusuran Tim Riset CNB Indonesia, anggaran tersebut terdapat penyesuaian anggaran dari PLTS Atap sebesar Rp94,44 Miliar untuk dialihkan ke PLTS Terpadu/PLTMH di daerah 3T dan sebanyak Rp500,94 miliar dialokasikan untuk Kegiatan Penerangan Jalan Umum - Tenaga Surya (PJU-TS).
Lalu, dana sebesar itu dikucurkan seberapa besar dampaknya terhadap transisi energi?
Ya, memang pembangunan dan pemasangan PJU-TS diharapkan mampu menjadi solusi efisiensi tenaga listrik untuk penerangan di masyarakat. Fasilitas ini juga bakal menghemat pengeluaran Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang berasal dari pajak penerangan jalan. Manfaatnya sama dengan PLTS Rooftop, yakni mengurangi pembayaran tagihan listrik.
Pemilihan penerangan menggunakan PJU-TS sebagai alat bantu penerangan memiliki kelebihan yakni sifatnya yang stand-alone.
Fasilitas ini menggunakan cahaya matahari sebagai sumber energi listriknya, sehingga sangat cocok digunakan untuk jalan-jalan di daerah-daerah yang belum terjangkau oleh listrik PLN dan juga daerah-daerah yang mengalami krisis energi listrik, terutama di daerah terpencil.
Program ini sudah pasti berdampak terhadap masyarakat terutama daerah-daerah pelosok yang bisa dikatakan masih tertinggal. Namun memang PR pemerintah cukup besar. Sebagai awalan memang ini sebuah langkah yang baik.
Namun lagi-lagi pemerintah harus bekerjasama dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) untuk bisa mendapatkan data daerah mana yang urgen untuk dibantu jika kesediaan dana terbatas. Pemerintah harus bisa memprioritaskan program tersebut agar lebih efektif.
Transfer Teknologi dan Permodalan Jadi Kendala
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengungkapkan transfer teknologi dan permodalan menjadi salah satu kendala dalam transisi energi. Saat ini, menurutnya baru 50% teknologi yang bisa diakses untuk transisi energi.
Untuk mencapai itu, pemerintah membutuhkan budget sebesar US$ 131 triliun. Namun, tak sampai disini, angka investasi harus dikumpulkan dari berbagai lembaga keuangan dan sumber kreatif sehingga bisa didistribusikan kepada negara berkembang dan juga negara miskin agar bisa melakukan transisi energi.
Meski demikian rencana tersebut tidak mudah karena harus ada dukungan transfer teknologi. Dia menegaskan harus ada kerja sama dengan industri yang mampu memberikan akses pada pendanaan dan teknologi ini.
Berencana Memberikan Subsidi Bagi Motor & Mobil Listrik
Pemerintah berencana memberikan subsidi kendaraan motor listrik sebesar Rp 6,5 juta dan mobil listrik sebesar Rp 80 juta untuk setiap pembelian 1 unit mobil listrik.
Perlu diketahui bahwa insentif diberikan kepada pembeli mobil atau motor listrik dari produsen yang memiliki pabrik di Indonesia. Saat ini kebijakan pemberian insentif itu masih dalam tahap finalisasi.
Kendati demikian, baru saja kabar ini mencuat sudah muncul berbagai penolakan Memang, Pemberian insentif untuk kendaraan listrik dinilai sudah banyak dilakukan di negara lain demi menyokong kemampuan masyarakat memperoleh kendaraan elektrik. Kendati demikian, kebijakan itu menuai kritik. Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) menilai rencana subsidi pemerintah itu sebagai langkah yang salah sasaran.
Sebenarnya, da lebih banyak jenis angkutan lain seperti angkutan basis bus dan rel, yang membutuhkan subsidi daripada pengemudi ojek online.
Jika pemerintah mengincar untuk menekan disparitas harga antara kendaraan listrik dan minyak, maka MTI mengimbau agar pemerintah menerapkan pajak karbon kendaraan yang menggunakan BBM.
Pajak karbon merupakan penerapan konsep polutan pay principle yang akan membuat para penggunaan kendaraan BBM diwajibkan membayar pajak akibat polusi yang diproduksi kendaraannya.
Selain itu, kalau memang kekeh untuk subsidi, masyarakat Indonesia bakal lebih banyak cenderung menggunakan motor listrik ketimbang mobil listrik. Dengan demikian, maka pemberian subsidi untuk kendaraan listrik setidaknya dapat lebih tepat sasaran.
Mengingat, fungsi dari kendaraan roda dua selama ini menyangkut hajat hidup banyak orang.
Ambisi Pemerintah Mendorong Peralihan ke Kompor Listrik
Berdasarkan telusuran Tim Riset CNBC Indonesia, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan bakal tetap melanjutkan program konversi kompor liquified petroleum gas (LPG) menuju kompor induksi berbasis listrik.
Untuk diketahui, prorgam ini sempat heboh dan banyak menuai penolakan saat usulan ini didorong beberapa bulan lalu.
Berdasarkan Peta Jalan Transisi Energi Menuju Karbon Netral yang disusun Dewan Energi Nasional (DEN), penggunaan kompor induksi ditargetkan mencapai 8,1 juta rumah tangga hingga akhir 2025 dan akan terus naik hingga 28,2 juta rumah tangga pada akhir 2035 mendatang.
PLN belakangan mengambil inisiatif program konversi itu lewat aksi korporasi perseroan untuk meningkatkan serapan listrik masyarakat. Selain itu, lelang pengadaan kompor listrik yang sempat digulirkan pada tahap awal program konversi bakal kembali dilanjutkan secara bertahap.
PLN telah menjaring 11 pabrikan penyedia kompor induksi domestik dengan komitmen produksi mencapai 300.000 kompor hingga akhir 2022 lewat market sounding. Setelah dilaksanakan proses lelang, maka didapat tiga pemenang yang semuanya adalah pabrikan lokal.
Produksi tahap pertama dari tiga pabrikan itu dijadwalkan terkirim sebanyak 105.000 unit pada bulan ini.
Inilah beberapa keseriusan pemerintah dalam mewujudkan sekaligus mempercepat target transisi energi. Sebagai catatan, upaya ini bukan ajang untuk keren-kerenan setiap kementerian/lembaga. Namun, upaya bersama bagaimana roadmap yang dibangun bisa berjalan lancar, dengan komitmen yang berkelanjutan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aum/aum)