'Hantu VUCA' Ancam Dunia, Saatnya Indonesia Siap-siap!
Jakarta, CNBC Indonesia - Petinggi Bank Indonesia (BI), Deputi Gubernur Senior Destry Damayanti mengungkapkan inflasi yang menjadi momok di berbagai negara terjadi akibat adanya fenomena pasca pandemi Covid-19.
Menurut Destry, pasca pandemi, terjadi peningkatan daya beli masyarakat akibat likuiditas yang banyak sehingga membuat permintaan meningkat. Namun tekanan inflasi ini diperparah oleh perang Rusia-Ukraina telah mengganggu rantai pasok sehingga menyebabkan terjadinya penurunan penawaran. Tekanan inflasi ini juga terjadi di Indonesia.
Semua kalangan, dari masyarakat bawah hingga atas, menikmati tambahan likuiditas selama pandemi. Alhasil, saat mobilitas membaik, Covid mulai mereda yang terjadi adalah semua masyarakat belanja.
Pada akhirnya, memicu disebut kondisi yang disebut VUCA. VUCA merupakan singkatan dari volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity. Singkatan ini menggambarkan kondisi dunia yang saat ini tengah kita rasakan, dimana terjadi perubahan yang sangat cepat, sulit diprediksi, dipengaruhi banyak faktor, dan realitas menjadi sangat subjektif.
"Jadi ini sudah tumpuk-tumpuk kalau kita bilang global ini mengalami kondisi yang namanya VUCA, volatility tinggi, uncertainty tinggi, complexity sangat kompleks, dan ambiguity," terang Destry, dalam kegiatan Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan Bali Nusra, dikutip Senin (12/12/2022).
Destry melihat kondisi inilah yang menyebabkan inflasi tinggi di Amerika dan Eropa yang kemudian memicu mereka untuk mengambil kebijakan moneter menaikkan suku bunga. Menurutnya, ada kekagetan yang dirasakan negara maju ketika inflasinya berada di kisaran 9% hingga 10% padahal umumnya inflasi mereka hanya berkisar di 2%.
"Negara berkembang ya inflasi bisa tinggi sekali tapi negara maju nggak pernah, kaget mereka dan apa yang dilakukan? dihajar dengan suku bunga. Suku bunganya dinaikin terus sampai akhirnya itu fed fund rates itu bayangkan kalau awal tahun masih 0,25% posisi sekarang sudah di 3,75 sampai 4%, naik 400 basis poin, kenapa ekonomi nggak langsung terpuruk," kata Destry
Sayangnya, Destry melihat langkah yang diambil negara maju dalam menaikkan suku bunga untuk menangani inflasi kurang tepat. Pasalnya, penyebab inflasi datang dari sisi supply sedangkan kebijakan moneter adalah kebijakan yang seharusnya diambil ketika masalahnya berasal dari sisi demand-nya.
"Kenapa mereka naikkan seperti itu? Karena mereka mau menangani inflasi. Inflasi mereka sampai 9% jadi mereka berusaha untuk menangani inflasi dengan kebijakan moneter, padahal masalahnya supply side. Kalau kita bicara kebijakan moneter kan kita lebih fokus demand side," tegas Destry.
(haa/haa)