Tak Cuma Nikel, RI Ketiban Durian Runtuh Dari Harta Karun Ini
Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia sukses menjalankan hilirisasi di sektor komoditas nikel. Melalui nikel, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) mencatat, akhir tahun ini nilai tambah dari nikel ditargetkan mencapai US$ 33 miliar atau Rp 514 triliun (kurs Rp 15.600 per US$).
Tak berhenti sampai di nikel, tahun depan sesuai dengan Undang-undang Nomor 3 tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) komoditas lainnya yang wajib menjalankan hilirisasi adalah bauksit. Dengan mengembangkan hilirisasi di dalam negeri, badan usaha dilarang melakukan ekspor bijih bauksit ke luar negeri pada tahun 2023.
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) juga secara tegas mengatakan akan melarang komoditas bauksit itu. Kelak, ia akan mengumumkan pelarangan ekspor bauksit dalam waktu dekat ini.
Presiden mengatakan, hilirisasi pertambangan adalah sesuatu yang konsisten dan harus terus dilakukan untuk terus mendukung pertumbuhan ekonomi negara ini. Setelah kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel pada 2020 lalu, dalam waktu dekat pemerintah akan melarang ekspor bauksit.
"Tadi pagi, kita sudah berbicara mengenai, setelah nikel, tadi pagi kita telah berbicara mengenai bauksit. Dan, segera kita putuskan kapan akan kita larang ekspor bahan mentah dari bauksit. Segera akan kita umumkan, karena investasi juga menyangkut pembukaan lapangan kerja yang sangat diperlukan saat ini," ungkap Presiden Jokowi saat memberikan pengarahan pada Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Jakarta, Selasa (06/12/2022), yang ditayangkan melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden.
Kebijakan Jokowi untuk melarang ekspor bauksit ini tak lain agar Indonesia menerima nilai tambah yang berlipat ganda dari komoditas ini. Presiden memerintahkan agar komoditas yang dijual sudah diolah terlebih dahulu di dalam negeri, sehingga dijual dengan harga jauh lebih tinggi dan bukan hanya dalam bentuk mineral mentah.
Bila produk yang dijual atau diekspor telah diolah menjadi alumina, maka nilai tambah yang akan diperoleh negara ini bisa naik delapan kali lipat.
Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara Irwandy Arif menyebut, nilai tambah ini dengan asumsi harga alumina jauh lebih tinggi dibandingkan harga bauksit.
Dia menyebut, harga bijih bauksit pada 2021 sekitar US$ 24-30 per ton, sementara harga jual alumina sekitar US$ 200-300 per ton.
Dengan asumsi penjualan pada volume yang sama, penerimaan negara diperkirakan bisa melejit menjadi US$ 5 miliar atau sekitar Rp 79 triliun bila menjual dalam bentuk alumina.
"Dengan harga bijih bauksit itu kira-kira US$ 24 - US$ 30 per ton itu kemarin tahun 2021. Kita menjual sekitar 23 juta ton itu sekitar US$ 628 juta. Itu sedemikian rupa, begitu angka ini akan melesat apabila kita berhasil menjadi alumina dari bijih bauksit dalam proses smelter bauksit grade alumina," paparnya kepada CNBC Indonesia beberapa waktu lalu.
"Ini harga jualnya dapat menjadi sekitar US$ 200 - US$ 300 per ton. Anda bisa bayangkan delapan kali kurang lebih ya," ucapnya.
Menurutnya, angka ini bisa kembali melambung bila Indonesia bisa memprosesnya lagi menjadi aluminium. Apalagi, lanjutnya, harga aluminium kini sudah mencapai sekitar US$ 2.000 per ton.
"Kemudian, terlebih lagi alumina diolah menjadi aluminium harga jualnya melesat hingga US$ 200 per ton. Jadi kita bisa bayangkan bagaimana pengaruhnya terhadap penerimaan negara," pungkasnya.
Dia menyebut, produksi bijih bauksit RI pada 2021 menyentuh angka 25,8 juta ton. Namun, dari total produksi tersebut, sebanyak 23,2 juta ton bijih bauksit diekspor ke luar negeri. Sedangkan untuk diserap smelter dalam negeri hanya sebesar 2,6 juta ton.
Padahal, saat ini ada empat smelter bauksit yang beroperasi dengan kapasitas penyerapan 10,5 juta ton bauksit.
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba), Indonesia paling telat pada Juni 2023 mendatang harus menyetop keran ekspor mineral mentah, termasuk bauksit.
UU Minerba itu sendiri mengatur ekspor mineral yang belum dimurnikan seperti konsentrat, dibatasi hanya tiga tahun sejak UU ini berlaku pada 10 Juni 2020. Tiga tahun setelah diundangkan artinya pelarangan ekspor bahan mentah dan konsentrat mineral berlaku paling telat mulai 10 Juni 2023 mendatang.
(pgr/pgr)