CNBC Indonesia Research
Yuan Digital Tak Laku di China, Rupiah Digital Lebih Baik?

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) telah meluncurkan white paper pengembangan central bank digital currency (CBDC) atau rupiah digital. Masyarakat tentu bertanya-tanya apa itu rupiah digital? Bagaimana pemanfaatannya? serta seberapa urgent untuk diterapkan di Tanah Air?
White paper diluncurkan sebagai langkah awal BI untuk mengembangkan rupiah digital sekaligus sebagai bentuk komunikasi kepada publik terkait rencana pengembangan rupiah digital.
Gubernur BI Perry Warjoyo memberi nama proyek pengembangan rupiah digital ini dengan julukan Proyek Garuda. Proyek ini bertujuan sebagai tanda kesiapan Indonesia untuk menyusul negara-negara yang telah mengimplementasi mata uang bank sentral.
Asal Muasal Rupiah Digital
Era digitalisasi ekonomi dan keuangan berlangsung lebih sejak era pandemi Covid-19. Perilaku transaksi masyarakat semakin bergeser ke arah online seiring dengan pembatasan mobilitas sosial (social distancing).
Apalagi, jika kita melihat Laporan Google, Temasek, dan Bain & Company menunjukkan, nilai penjualan bruto atau gross merchandise value (GMV) ekonomi digital di Asia Tenggara tercatat sebesar US$194 miliar pada 2022. Jumlah tersebut mengalami kenaikan 20% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebanyak US$161 miliar.
Indonesia menjadi negara dengan ekonomi digital paling besar di Asia Tenggara. GMV ekonomi digital Indonesia ditaksir mencapai US$77 miliar atau sekitar Rp1.198,3 triliun pada tahun ini.
Pertumbuhan ekonomi digital Indonesia pada tahun ini mencapai 22% atau lebih tinggi dibandingkan rata-ratanya di Asia Tenggara. Hanya saja, pertumbuhan tersebut melambat dibandingkan pada 2019 ke 2021 yang mencapai 25%.
Tidak hanya itu, pandemi juga mengerek adopsi aset kripto secara masif, termasuk derivasinya berupa DeFi dan Metaverse, dan memicu fenomena yang dikenal dengan sebutan cryptoization.
Disrupsi digital tidak lagi sebatas isu shadow banking, namun juga telah merambah pada isu shadow currency dan bahkan shadow central banking.
Arus inovasi digital ternyata tidak hanya mendisrupsi sistem perbankan namun juga merambah secara lebih luas, yaitu disrupsi terhadap mata uang resmi dan kebanksentralan itu sendiri terutama dengan munculnya private digital currency, atau sering disebut cryptoassets dan stablecoins tadi.
Inovasi teknologi dan perubahan perilaku masyarakat menjadi penggerak utama dinamika tersebut. Kehadiran teknologi baru terutama Web 3.0 dan Distributed Ledger Technology semakin mengeskalasi masifnya perkembangan cryptoassets dan stablecoins dengan berbagai peluang dan risikonya.
Di sisi lain, fenomena ini berpotensi meningkatkan inklusi dan efisiensi sistem keuangan, termasuk pembayaran lintas-negara, serta menjadi fondasi decentralized finance yang menawarkan akses instan ke beragam produk keuangan.
Cryptoassets dan stablecoins pada akhirnya akan membawa risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme serta transaksi terlarang. Penggunaannya secara masif juga dapat mempengaruhi efektivitas kebijakan bank sentral yang meliputi risiko stabilitas keuangan, shadow currency, dan shadow central banking, serta berimplikasi pada international monetary system di level global.
Maka sebagai misi kebijakan publik, BI mendorong konteks transformasi digital untuk diperluas hingga mencakup upaya membuka akses publik terhadap trusted money dalam format digital.
Central bank digital currency (CBDC) atau rupiah digital merupakan transformasi yang dilakukan bank Indonesia sebagai solusi future proof yang prospektif. BI mengungkapkan kehadiran rupiah digital diharapkan menjadi solusi berkelanjutan kedaulatan rupiah di tanah air.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Mengenal Uniknya Rupiah Digital